Parasite: Nafas Drama Korea dalam Kompilasi Filmografi Bong Joon Ho

Parasite 1

Dulu saya pernah bertanya-tanya, mengapa saya bisa menonton Memories of Murder (2003)  berkali-kali, padahal film tersebut diangkat dari kisah nyata yang artinya tidak banyak ruang tersisa bagi sutradara untuk berimajinasi liar. Setelah menonton Parasite (2 kali!), sepertinya saya menemukan jawabannya.

Membaca filmografinya, Bong Joon Ho hampir selalu menawarkan premis sederhana yang disampaikan dengan narasi linear. Sinematografi dan musik yang dramatis tidak serta-merta menjadikan film-film Bong pretentious. Tapi saya curiga dua elemen tadi justru yang membuat banyak orang seringkali melihat film-film Bong Joon Ho sebagai karya yang avant garde dan gila, apalagi Bong juga suka dengan metafora-metafora kecil. Padahal buat saya kebalikannya. Bong juga suka menyelipkan bercandaan konyol segelap apapun filmnya. Tidak salah jika kemudian ada yang menyandingkan Parasite dengan film-film Warkop DKI yang juga kerap berisi satir sosial.

Menonton drama Korea mungkin bisa memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana kelas merupakan topik bahasan yang sangat lazim, nyaris selazim nasi dan kimchi bagi orang Korea, dalam tayangan yang distereotipkan sebagai tontonan kacangan atau alay. Dari drama harian atau akhir pekan (yang ceritanya kadang luar biasa tidak masuk akal), komedi romantis dengan fairy tale syndrome-nya, kriminal, sosial politik sampai horor; dari ribut-ribut ala orang kaya kompleks vs orang miskin kampung sebelah sampai kesenjangan struktural, kelas hadir baik sebagai subyek maupun latar belakang dalam drama Korea. Bisa jadi ini juga jadi salah satu alasan kenapa Bong bilang film ini mungkin terlalu Korea buat penonton internasional (terlebih bagi mereka yang tidak menonton drama Korea), di luar simbol-simbol lokal lain yang (tentunya sebagai bukan orang Korea) saya juga belum paham benar. Mungkin.

Parasite 3
Keluarga Kim bekerja serabutan sebagai pelipat box pizza di apartemen semi-basement (banjiha/반지하) mereka

Namun tidak seperti drama yang punya keleluasaan episode untuk bereksplorasi membangun narasi, film harus mampu memadatkan argumen-argumennya dalam waktu yang terbatas. Bong melakukan ini dengan menciptakan penanda yang dihadirkan berulang kali untuk membangun intensitas pemicu konflik. Jika dalam Mother (2009) penanda itu adalah ejekan Bodoh kepada Do Joon (Won Bin), dalam Parasite (2019) Bong menggunakan Bau dan Batas.

Mr Park (Lee Sun Kyun), seperti layaknya kelas menengah atas pretensius lainnya, (seakan-akan) memberikan kebebasan dan menghargai pekerja-pekerjanya, selama mereka tidak “melewati batas”. Dalam kata Batas terkandung makna kesetaraan yang munafik. “I’m all for (insert cause/term), as long as…”. Bayangan melintasnya para pekerja rumah tangga ke dalam eksklusivitas teritori sosial imajiner pasangan Park membuat fake woke people ini gerah, segerah kelas menengah Jakarta yang terganggu dengan gegar budaya masyarakat kelas bawah terbelakang yang tidak pernah mencicipi kedisiplinan bermasyarakat ala negara dunia pertama atau kejijikan kaum borjuis mencium toilet Plaza Indonesia yang hilang kewangiannya tergantikan bau busuk hajat rakyat jelata di gegap gempitanya uji coba MRT. Kemunafikan Mr. Park sedikit banyak mengingatkan saya pada Han Jung Yo, kepala keluarga keluarga Han dalam Heard It Through the Grapevine (2015) (still, one of Korean drama’s masterpieces to date), drama Korea yang juga menguliti dan mengolok-olok pretensi basi kaum borjuasi.

Parasite 2
Mr Park (Lee Sun Kyun) & Yeon Kyo (Cho Yeo Jeong)

Jika Batas adalah penanda bagi Mr Park, Bau adalah penanda bagi Kim Ki Taek (Song Kang Ho). Isyarat Bau yang didemonstrasikan berulang kali menggoyahkan kepercayaan diri Ki Taek karena bau mengafirmasikan posisi marjinalnya. A quite Orwellian of Bong. Maka kemudian ledakan kemarahan Ki Taek melihat Mr Park menutup hidung memang seperti bom waktu, seperti Hye Ja (Kim Hye Ja) dalam Mother yang mengamuk mendengar putra kesayangannya dipanggil Bodoh.

But there was another and more serious difficulty. Here you come to the real secret of class distinctions in the West–the real reason why a European of bourgeois upbringing, even when he calls himself a Communist, cannot without a hard effort think of a working man as his equal. It is summed up in four frightful words which people nowadays are chary of uttering, but which were bandied about quite freely in my childhood. The words were: The lower classes smell.

The Road to Wigan Pier, Chapter 8 – George Orwell

Parasite 7
Song Kang Ho sebagai Kim Ki Taek. Lewat Parasite dan The Host, akhirnya saya akhirnya paham kenapa Song Kang Ho jadi kesayangan banyak sutradara di Korea Selatan

Tidak hanya menghadirkan konflik vertikal (yang dalam film-film Bong sering disimbolisasikan secara harfiah dengan ruang-ruang vertikal), tapi Parasite juga menunjukkan bahwa peperangan sesungguhnya justru terjadi di lapisan bawah. Apapun masalahnya, kaum elit (di seluruh dunia) selalu jadi yang lebih dahulu lolos dari jeratan masalah, sedangkan rakyat jelata tetap gontok-gontokan untuk bertahan hidup. Apalagi ketika sudah menyangkut urusan perut.

Parasite 4
Kakak beradik Kim Ki Jung (Park So Dam) & Kim Ki Joo (Choi Woo Shik)

Seperti dalam banyak drama Korea, Parasite juga menolak dikotomi perspektif hitam – putih, walaupun Bong tetap mengambil posisi dalam film ini. Tipu-tipu keluarga Kim ‘menginvasi’ ruang mewah keluarga Park berangkat dari kebutuhan mereka bertahan hidup. Untungnya si empunya rumah bukan ‘monster’. Dalam kepala Ki Taek, ini artinya “Mr Park adalah orang baik walaupun dia kaya”. Choong Sook (Jang Hye Jin), istri Ki Taek, kemudian mengoreksinya dengan “Mr Park bukan kaya tapi baik. Dia bisa baik karena kaya. Gue juga bisa baik kalau kaya”. Pahit memang melihat keluarga Kim harus menjustifikasi usahanya mencari pekerjaan (rendahan pula) karena merasa bersalah sudah menipu dan menjadi Parasit di rumah keluarga Park. Entah Bong mengutip atau terinspirasi, yang jelas kalimat ini adalah kalimat paling menohok & mengesankan dalam drama My Ahjussi (2018) (yang juga dibintangi Lee Sun Kyun).

Parasite kemudian menjadi salah satu karya Bong yang paling saya nikmati justru bukan karena “kebesaran” idenya. Kebrutalan Parasite bisa jadi tidak “segila” film-film Park Chan Wook dan kesedihannya bisa jadi tidak seperih film-film Hirokazu Koreeda (walaupun di kali kedua saya menonton, saya mewek menyaksikan tatapan sedih Pak Ki Taek setiap tuan dan nyonyanya tutup hidung atau melihat kesigapan Kim Ki Woo (Choi Woo Shik) mengambil setiap kesempatan walaupun dia tidak akan pernah living his dreams), namun saya menyukai keluwesan (dan kemauan) Bong menjembatani ranah film komersil dan the so-called film seni, bahkan memasukkan rasa drama dalam kasus Parasite. Kalau diibaratkan makanan, Parasite terasa seperti masakan dengan berbagai macam bumbu yang menyatu halus dengan rasa yang tidak tajam sehingga membuat penyantapnya ingin mencicipi kembali untuk meraba rasa apa yang tercampur dalam makanan tersebut, if that makes any sense. Ini nampaknya jawaban pertanyaan saya di awal tadi.

Menggabungkan banyak elemen dari film-film terdahulunya, ditambah dengan kerapian semua aspek film, mulai dari cerita, alur, hingga akting para pemainnya, Parasite tak terelakkan terasa seperti kompilasi filmografi Bong Joon Ho. Ala-ala album Best Of lah kira-kiranya.

 

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini.

K-drama’s Manual on “How to be in a Mature, Consensual, and Respectful Relationship”: Because This Is My First Life / Yibun Saengeun Cheoeumira (이번 생은 처음이라) (2017)

Because This Is My First Life 2

In a country where patriarchal and misogynistic attitudes remain deeply embedded in the mainstream culture and television shows and dramas confuse dating violence as romantic acts, fighting back through popular culture mediums is probably the most effective way to reconstruct the toxic cultures as movies and television series have long been used as weapons of cultural propaganda as they infiltrate the audience’s mind subconsciously.

I always believe that the gender equality and feminism movements in South Korea will have a smoother ride on dramas than on movies. The argument is quite straightforward, actually. Most drama writers are female, whilst the movie industry is basically still a men’s playground, though these female writers probably are the same ones that romanticise misogyny in the first place. Or not. But we have seen a pleasant progress where in recent years as more and more writers are bringing up the gender equality and feminism issues in their works. This trend seems specifically significant among the cable TV networks. Some bring them with subtle hints, while others are quite literal, like this one.

[SPOILER ALERT]

In Because This Is My First Life we have three couples who each have their own style of relationships. The anchor couple is Yoon Ji Ho (Jung So Min) and Nam See He (Lee Min Ki), who agreed to live together upon a contractual marriage to which both are in for practical reasons and solutions. Se Hee needs a housemate to pay off his mortgage faster, while Ji Ho needs a living space without having to pay the deposit. A win-win solution.

Because This Is My First Life 4
Nam See He (Lee Min Ki) and Yoon Ji Ho (Jung So Min)

 

Yang Ho Rang (Kim Ga Eun) and Shim Won Seok (Kim Min Seok) are the typical high school sweethearts. Both are living the relationship within the conventional path. Date, live together with marriage as their final destination because they could never have thought of any other way. At least Ho Rang does.

Because This Is My First Life 11
Yang Ho Rang (Kim Ga Eun) and Shim Won Seok (Kim Min Seok)

 

The last, and probably the ones that unexpectedly steal some of the focus from Ji Ho and Se Hee, are Woo Soo Ji (Esom) and Ma Sang Goo (Park Byeung Eun). Sang Goo is Se Hee’s colleague who unknowingly finds himself falling deeply in love with the charm of Soo Ji, a business partner and an old one-night-stand buddy. Despite her constant refusal to be involved with him in a romantic relationship, but his sincerity eventually melts her icy heart. Cliché, yes, but it is delivered in the most charming way possible.

Because This Is My First Life 8
Woo Soo Ji (Esom)

Soo Ji is a suppressed feminist, which resulted in her complicated attitudes. She plays along with the sexism and sexual harassments in her work place because that’s what many women forced to do as a survival system in order to not lose their jobs, but in doing so, she became frustrated, thus putting up a defensive and offensive fronts at the same time.

Because This Is My First Life 10
Ma Sang Goo (Park Byeung Eun)

Sang Goo (and Se Hee) is a metaphor of how an ideal male partner should be in this war against deep-rooted sexism and misogyny. He never pushes his opinions or plays the patriarchy card, instead he stands by her and be her support when she needs it. He only enters her territory when he is invited and allowed to. I especially love the flipped stereotyped gender roles and characters with this couple, with Soo Ji is the one always having the upper hand, though at times it’s a little uncomfortable that she uses the sex card to have it. I found it quite lame. But then again, maybe it is an unavoidable survival mode to challenge the oppressed sexual freedom women suffered in such society. These two characters have the most progression in their relationship as they constantly argue and converse to meet it in the middle, compromising without sacrificing their values, ideals and feelings.

What immediately sets this drama apart from the romantic and romantic comedy K-dramas convention is the distinctive consensual acts. All of our main and supporting characters always ask first to get their counterparts’ approvals and permissions, even to the smallest things considered trivial. None of them ever crossed their partner’s territories. No silly misunderstandings because our characters communicate. Communicate. A simple act which seems really hard to be understood by the conventional K-drama makers. Hence, I call it Consent 101 because everything is delivered in a very literal manner, like giving a lecture to very clueless and backward students, but it still manages to keep its sense of romanticism. A manual on “How to be in a Mature, Consensual, and Respectful Relationship”.

In classic K-drama’s formula, there is always (a) third person(s) to intensify the conflicts which many times are plain unnecessary. I respect the idea of not demonising the third person in this drama. Se Hee’s ex, Go Min Jung (Lee Chung Ah) is described as a smart and composed woman that makes Ji Ho even has a girl crush on her. Ji Ho and Min Jung share a level-headed working relation even when they know that they are once and still involved with the same guy. Only a reasonable level of jealousy is shown, never destructive. Shin Young Hyo (Kang Sung Wook) who tried to approach Ho Rang with a well-prepared marriage plan accepted Ho Rang’s rejection also with a level-headed attitude. Same response from Yoon Bo Mi (Yoon Bo Mi of Apink. Her deadpan expression is spot on and adorable I must say), the female version of Se Hee, who ask Won Seok to date her by giving him a match rate analysis.

Because This Is My First Life not only addresses the problematic and deep-seated patriarchy and misogyny in the society but also challenges the burdensome traditional values and demands that come as heavy baggage to every individual entering marriage institution. Ji Ho and Se Hee agreed to revise their contract every year. One of its clauses stated that they will visit their families on holidays separately as to avoid the ‘unpaid labour’, in Se Hee’s term, which is an uncommon practice experienced by South Korean daughters-in-laws And it’s only fitting that such literal description comes from an exceptionally literal and logical person with a stoic facade, which by the way is portrayed wonderfully by Lee Min Ki, in his first leading drama role after Dalja’s Spring in 1997.

Put aside the multiple plagiarism accusation, I learned that the show feels like a call out for deep-seated patriarchy and misogyny shown in 2016 Man Booker International Prize winner’s Han Kang‘s “The Vegetarian (채식주의자)” (2007) and Cho Nam Joo’s best-selling novel “Kim Ji Young Born 1982 (82년생 김지영)” (2016). Some subjects look like lighter visual translations of structural and cultural violence Kim Ji Young and Yeong Hye have to endure as expected behaviours for women, depicted in Soo Ji’s forced submissiveness to South Korea’s workplace culture of sexism and misogyny and her dislike of wearing bra or Ji Ho’s unpaid labour at her in-laws. Hats off to writer Yoon Nan Joong for her meticulous writing despite the initial premise’s alleged similarity to Japanese drama, We Married as a Job/The Full-Time Wife Escapist/Nigeru wa Haji da ga Yaku ni Tatsu (逃げるは恥だが役に立つ) (2016). Though it will be problematic if this drama is later proven to be a compilation of plagiarisms from different sources.

 

Han Kang’s “The Vegetarian” (2007) and Cho Nam Woo’s “Kim Ji Young Born 1982 (82년생 김지영)” (2016)

We Married As A Job
We Married as a Job/The Full-Time Wife Escapist/Nigeru wa Haji da ga Yaku ni Tatsu (逃げるは恥だが役に立つ) (2016)

The last two episodes did feel slightly anti-climax for me, maybe because in the end they still try to conform by being a crowd-pleaser. Or maybe because despite the dim reality, the writers chose to offer an alternative in hope of becoming a more equal and better society, thus a happier place to live in. Regardless the slightly unsatisfying ending, I guess it has been a wonderful 14-episode ride, still.

Screenshot_2018-05-02-01-04-02-654_com.google.android.youtube
The bunch in happily ever after ride

2016 – A Year in K-Drama

2016 had been a year of K-drama for me. Of the 137 K-dramas aired in 2016, I gave in to 33 of it. Thirty three… that’s like… a huge waste of time *sigh* I feel I missed one drama still, Memory. I’ll probably watch it sometime soon.
[Update] “Memory” is a nice drama. Both Lee Sung Min and Junho did deliver, but the drama is definitely not as solid as other tvN’s dramas will be mentioned in the list.

Mostly popular for its romantic comedy clichés, tragic melodrama or over-the-top family conflicts and never ending feuds, much like its counterpart in the cinema world, K-drama is at its best when it touches subjects with sincerity and genuineness (that of course applies to basically any kind of work of arts).

Of the 137 K-dramas, I passed the daily and weekend dramas which are mostly equal to our daily sinetron. Think of dreading love story which includes conquering abusive mother-in-law’s (to her daughter-in-law) love, betrayal, all sorts of illnesses, from sudden nosebleed to amnesia you name it, the daily and weekend dramas have them all. But once in a blue moon there’s family drama like Five Enough which is just sweet and simple (still with a bit of touch of silly and unreasonable but tolerable conflicts, of course) like the good ol’ TVRI’s family dramas.

2016, for me, belongs to Jo Jin Woong. Underrated oftentimes and mostly played supporting roles, 2016 finally saw Jo in two strong leading roles. Early in 2016, Jo played an upright and morally conscious but heartbroken Detective Lee Jae Han in Signal and in the second half of 2016 he came back to small screen transforming into an uptight and ambitious, rough-spoken but a soft-hearted family American television series’ Entourage. And in between, he starred in the highly anticipated and critically acclaimed The Handmaiden”, a Park Chan Wook’s mesmerising erotic fantasy/thriller.

So I guess it’s only fitting to start this list with one of the dramas he starred in this year, Signal.

Next >

A Plea For Justice: Signal / Sigeuneol (시그널) (2016)

Signal 1
Lee Je Hoon, Kim Hye Soo, Jo Jin Woong

Saya nggak ngerti kenapa waktu itu saya melewatkan Signal saat dramanya tayang dan lompat dari Reply 1988 ke Dear My Friends. Mungkin karena waktu itu sibuk mengejar (drako) yang lain atau mungkin juga karena saya gak pernah terlalu menggilai genre-nya.

Signal, seperti banyak didaulat penontonnya, adalah salah satu drama terbaik di 2016. Namun dengan genre drama kriminal, sepertinya tidak banyak yang mengulas kentalnya kritik sosial politik Signal.

 

Sekilas Signal mengingatkan saya pada “Frequency”, sebuah film tahun 2000 yang dibintangi Dennis Quaid (sebagai Frank Sullivan, ayah) & Jim Caviezel (sebagai John Sullivan, anak). Jika di “Frequency” si anak berkomunikasi dengan almarhum bapaknya sehari sebelum si bapak meninggal 30 tahun lalu dengan medium walkie-talkie, di Signal Lee Jae Han (Jo Jin Woong) menghubungi Park Hae Young (Lee Je Hoon) saat Hae Young sedang berusaha menghubungi pengemudi truk yang manghalangi mobilnya di tempat parkir. Secara konsep memang keduanya mirip, tapi kekuatan Signal adalah bagaimana penulis mengelaborasi konsep tersebut sehingga hasilnya tidak sekedar menjadi pengulangan.

Screenshot (191)
Park Hae Young (Lee Je Hoon) & Lee Jae Han (Jo Jin Woong)

Park Hae Young ditangkap Cha Soo Hyun (Kim Hye Soo) karena disangka tuking kuntit seleb yang suka menjual gosip-gosip dunia hiburan. Ujung-ujungnya Hae Young malah bergabung menjadi bagian dari Cold Case Team, bagian dari tim kepolisian yang mengusut kasus-kasus lama yang belum atau tidak terpecahkan. Hae Young dan Jae Han kemudian bertukar informasi dengan medium walkie-talkie dan bekerja sama memecahkan kasus-kasus tersebut bahkan berusaha untuk mencegah agar kejahatan tersebut tidak terjadi.

Kasus-kasus yang ditampilkan dalam Signal berdasarkan beberapa kasus kejahatan terkenal di Korea, seperti kasus pembunuhan berantai Hwaseong (yang juga jadi inspirasi film “Memories of Murder”) dan pemerkosaan berkelompok Miryang. Beberapa insiden besar yang jadi latar belakang juga berdasarkan kejadian sebenarnya. Persamaan keduanya adalah bahwa keduanya merupakan hasil kejahatan manusia dimana tidak ada seorangpun terbukti bersalah dan bertanggung jawab atas insiden-insiden tersebut.

Serial kriminal seringkali tidak memiliki dimensi lebih dari sekedar dikotomi jahat dan baik. Namun dengan mengeksplorasi kasus-kasus kejahatan yang tidak terpecahkan, Signal dengan cerdas juga melontarkan kritik keras, yang bahkan hampir terasa seperti sebuah permohonan, atas cacat dan korupnya sistem peradilan dan keadilan bagi masyarakat dimana hukum hampir selalu tumpul ke bawah. Didukung dengan dialog yang tajam, Signal terasa begitu berlapis secara dimensi maupun perasaan.

“Do you know why your brother was framed? It was because he had no money, power or connections.”

 

“Hilang” sangat lekat menyelimuti Signal, baik dalam arti fisik maupun rasa. Cha Soo Hyun dan ayah Lee Jae Han yang kehilangan Lee Jae Han; Park Hae Young dan kakaknya, Park Sun Woo yang kehilangan kehangatan keluarga hingga Lee Jae Han yang (nyaris) kehilangan harapan pada sistem peradilan dan negara. Heart-breaking.

Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearances) adalah kejahatan yang paling banyak melanggar hak-hak dasar manusia. Bagi yang ditinggalkan, penderitaannya bisa berlangsung bertahun-tahun karena tidak pernah ada kejelasan sehingga mereka tidak tahu apakah harus terus berharap dan menanti atau merelakan. Penghilangan orang secara paksa seringkali berkaitan dengan kejahatan rezim politik dan terjadi secara struktural. Signal mampu menterjemahkan ini dengan bahasa yang non-politis dan lebih condong ke humanis. Hasilnya bukan hanya mencengkeram namun juga terasa indah walaupun menyedihkan dan membuat patah hati.

Naskah Signal ditulis Kim Eun Hee dengan amat detil nyaris tanpa lubang. Adegan-adegan kunci disebar dan diulang di episode yang berbeda namun dijahit dengan sangat halus sehingga membuat penonton berpikir “Oh, iya waktu itu kan begini…” Cantik sekali. Perpindahan kamera yang cair dan mulus dari masa kini ke masa lalu dan begitu pula sebaliknya membuat Hae Young dan Jae Han seakan-akan tidak terpisahkan oleh masa namun berada di ruang waktu yang sama. Padahal ide komunikasi beda masa ini bisa aja terjebak jadi dagelan konyol gak masuk akal.

Screenshot (151)

Namun ini tidak lantas menjadikan Signal melulu serius. Signal juga menyelipkan humor dan romansa yang terasa menyatu dan wajar, sesuai konteks dan tidak dibuat-buat. Walaupun episode terakhir sedikit terasa lepas dan kurang intens, tapi pentupnya membuat Signal menjadi utuh full circle.

 

Signal 6
Lee Je Hoon

Ini dapat terjadi tentunya juga berkat akting andal 3 pemeran utamanya, Lee Je Hoon, Kim Hye Soo dan Jo Jin Woong. Yes, Lee Je Hoon is somewhat over the top in earlier episodes. Tapi seiring episode berjalan, lebaynya mulai menurun dan gak terlalu teatrikal lagi. Somehow that almost didn’t bother me at all. Biasanya saya akan kecapean nonton yang modelan begini, tapi akting Lee Je Hoon masih terasa relevan buat saya.

Signal 7

Signal 10
Kim Hye Soo

Kim Hye Soo tampil sangat menawan sebagai Cha Soo Hyun muda yang sedikit lugu, manis dan penurut sekaligus Cha Soo Hyun dewasa yang berwibawa, tenang dan taktis. Kim Hye Soo adalah satu-satunya pemain yang berada di 2 masa dan mengalami perubahan karakter cukup signifikan di drama ini. Something about Kim Hye Soo’s face that makes her believable as both a 20 year-old and 40 year-old.

 

 

 

 

Screenshot (179)

 

 

Salah satu adegan Kim Hye Soo yang paling mengesankan buat saya adalah saat dia menyadari bahwa ingatannya telah berubah, saat itu juga.

 

 

 

Signal 8
Jo Jin Woong

Tapi buat saya Jo Jin Woong adalah jiwanya Signal. Lee Jae Han di tangan Jo Jin Woong jadi sosok yang sangat memikat di luar kesederhanaan karakternya. Lee Jae Han blas perwujudan naruni manusia yang mendambakan keadilan. Hidupnya lempeng berjuang menegakkan kebenaran walaupun dibikin patah hati melulu oleh sistem yang busuk.

Geraknya grasa-grusu, bahasa tubuhnya canggung, tapi gigih, pantang menyerah dan penuh harapan. Seperti halnya Lee Jae Han merupakan perwujudan naruni manusia akan keadilan, Signal adalah manifestasi sosok Lee Jae Han yang merindukan dunia yang lebih baik.

“Is it the same there? If you’re rich and have connections, do you get off the hook after doing shady deeds? 20 years have passed. Something must have changed.”

“But if someone committed a crime, regardless of how much money or conections they have, they must pay for it.”

Di episode pembuka, penonton dihubungkan dengan karya sutradara Kim Won Seok sebelumnya, Misaeng (yang juga bagus tapi belum sedahsyat Signal. Dua-duanya tayang di saluran televisi tvN), melalui alusi gosip (fiktif tentunya) cinta segi tiga Im Si Wan, Kang So Ra dan Byun Yo Han (ketiganya bermain di Misaeng). Sedangkan di episode penutup Kim Won Seok seperti memberikan homage pada 2 film mafia terkenal Korea karya sutradara Yoo Ha, “A Dirty Carnival” & “Gangnam Blues 1970”, dimana yang pertama Jo Jin Woong juga berada di dalamnya sebagai pemeran pembantu. I don’t know why. Mungkin hanya sekedar adegan perkelahian mafia yang umum. Begitu juga permainan aspek rasio gambar yang diregang secara vertikal sepertinya merupakan homage terhadap “Memories of Murder”. Di luar gambar, musik pun memiliki warna dan rasa yang mirip dengan Memories, gelap dan menyayat dengan lagu-lagu bernuansa masa lalu. Apalagi lagu Melancholic Letter (우울한 편지) oleh Yoo Jae Ha (유재하) yang bermain di latar setiap aksi pembunuhan di Memories juga muncul di Signal episode 10.

(Searah jarum jam) A Dirty Carnival, Gangnam Blues, Signal

 

 

Secara pribadi, saya menempatkan Signal sejajar dengan Heard It Through The Grapevine. Mind-blowingly brilliant.

 

Mungkin Sebenarnya Hidup Itu Memang Tak Bermakna: Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동) (2010)

fullsizephoto146186
Hye Hwa (Yoo Da In)

“It might be possible that the world itself is without meaning.”

(Mrs. Dalloway – Virginia Woolf)

Apa jadinya kalau ternyata kehidupan ini pada akhirnya yah begitu saja dan tak ada maknanya? Entahlah. Mungkin banyak orang langsung tenggelam dalam depresi berkepanjangan atau histeris meratapi hidup tanpa kejayaan yang dicita-citakan. “Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동), entah mengapa, meninggalkan rasa “mungkin sebenarnya hidup itu memang tak bermakna” tersebut buat saya.

“Re-encounter” dibuka dengan adegan Hye Hwa (Yoo Da In) mengendarai motor untuk menjemput seekor anjing pendatang yang tidak diinginkan oleh pemilik rumah. Hye Hwa (nampaknya) memiliki obsesi untuk menyelamatkan anjing-anjing terlantar atau yang tak diinginkan. Sebagai mata pencaharian, ia memiliki salon anjing kecil yang bersebelahan dengan klinik hewan, atau mungkin juga bagian dari klinik tersebut. Selain mengurus anjing, Hye Hwa juga terkadang (atau mungkin juga sering) mengurus anak si dokter klinik sebelah hingga si anak ingin memanggilnya ibu. Kedekatan Hye Hwa dengan si anak dan aksi-aksi penyelamatannya terasa seperti sebuah manifestasi penebusan entah rasa bersalah atau rasa kehilangan atau bahkan keduanya karena di masa lalu Hye Hwa tidak dapat “menyelamatkan” bayinya sendiri yang meninggal tak lama setelah dilahirkan.

Paling tidak itulah yang tertanam di ingatan Hye Hwa selama 5 tahun. Sampai kemudian mantan kekasih dan ayah dari anaknya, Han Soo (Yeo Yeon Sook), yang “menghilang” sebelum kelahiran bayi mereka, mendadak muncul di hadapannya dan mengatakan bahwa anak mereka ternyata masih hidup.

“What if?”

The deadly question. Bagaimana jika ternyata Han Soo benar? Bagaimana jika ternyata anak mereka masih hidup dan tidak meninggal seperti yang selama ini tertanam di ingatan Hye Hwa? “Bagaimana jika” begitu menghantui Hye Hwa dan Han Soo hingga keduanya sesaat terjebak dalam delusi yang diciptakan Han Soo.

“Re-encounter” sebenarnya berpotensi untuk jadi melodrama super melankolis, tapi sutradara Min Young Keun nampaknya lebih tertarik untuk menghadirkan rasa sepi ketimbang bermain dengan air mata. Hye Hwa dewasa kini tinggal sendiri ditemani anjing-anjingnya. Ia masih memelihara kegemaran mengumpulkan potongan kukunya dalam sebuah tabung film kamera, seperti ingin menyimpan dan mengabadikan bagian dirinya yang dibuang. Atau mungkin seperti interpretasi Ninin, Hye Hwa masih menyimpan cinta dan masa lalunya di kuteks bergambar polkadot. Ibunya yang menua kini harus berpegangan pada bentangan tali rafia jika ingin ke kamar mandi. Han Soo yang kembali ke rumahnya kini berjalan setengah tertatih, mungkin akibat luka tembakan atau cedera saat latihan militer.

Semua disampaikan Min Young Keun dengan tenang, nyaris tanpa emosi eksterior. Suppressed emotions. Ini sangat masuk akal mengingat kondisi kehidupan keluarga Hye Hwa. Untuk sebagian orang, mereka tidak mampu untuk jadi melankolis. Ada hidup yang harus dijalani, ada perut yang harus diisi. Mungkin bagi sebagian orang lainnya, apalagi mereka yang kehidupannya berada di tengah ke atas piramida Maslow, hidup (idealnya) berisi mimpi-mimpi yang patut diperjuangkan untuk diwujudkan. Hye Hwa tidak berada di strata ini. Kesehariannya hanya berkutat pada anjing, sama seperti banyak orang yang kesehariannya hanya berisi rutinitas-rutinitas penyambung hidup. Kadang terlalu lelah bahkan untuk merasakan perasaannya sendiri, apalagi mencari makna.

Perasaan-perasaan yang ditekan oleh Hye Hwa dewasa dihadirkan dengan subtil oleh Yoo Da In (yang baru saya kenal melalui film ini), bertolak belakang dengan Hye Hwa remaja yang berani dan cuek. Yoo Yeon Seok, dalam peran terbaiknya (buat saya), mewujudkan Han Soo ke dalam sesosok anak mama yang tak mampu menghalau patah hati sehingga harus menciptakan delusi untuk menyembuhkan luka, bukan hanya dirinya namun juga luka Hye Hwa.

fullsizephoto146176
Han Soo (Yoo Yeon Seok)

Ketenangan, kesepian, kedataran, keheningan atau apalah perasaan yang nyaris tanpa gejolak ini entah kenapa terasa begitu menghisap. Beberapa kali menyaksikan “Re-encounter”, saya tetap tidak mampu meraba dengan tepat perasaan film ini. Mungkin inilah yang membuat saya merasa pada akhirnya hidup mungkin yah hanya begitu saja. Sekedar waktu yang berlalu, sampai nanti saatnya mati. Bahkan saat menulis ini pun rasanya begitu samar. Sama seperti tatapan Hye Hwa saat memundurkan mobilnya ke arah Han Soo. Samar.

Re-encounter Trailer (2010)