Eskapisme Ke Realitas : Emergency Couple (응급남녀) (2014)

EC 1
Oh Jin Hee & Oh Chang Min. Source: tvN

 

Perpisahan, kadang meninggalkan urusan-urusan dan perasaan-perasaan yang tak selesai. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya. Unfinished business inilah yang dieksplorasi sutradara Kim Cheol Kyu dalam drama seri komedi romantis Emergency Couple (EC).

Oh Chang Min (Choi Jin Hyuk) dan Oh Jin Hee (Song Ji Hyo), bercerai 6 tahun lalu dalam keadaan gontok-gontokan, tiba-tiba bertemu kembali saat menjadi mahasiswa kedokteran magang di bagian gawat darurat. What are the odds of that happening? Ya nggak odd-odd amat, secara setengah dari kata-kata yang membentuk istilah komedi romantis adalah komedi. Tapi ini tidak lantas menjebak EC dalam ketidaknyataan maupun absurditas demi mengejar efek romantis bombastis semata.

 

EC 2
Oh Chang Min & Oh Jin Hee melintasi kerumunan orang di Myeongdong saat kawin lari. Source: tvN

 

Awal mengikuti EC saya hanya ingin menikmati drama seri komedi romantis yang menyenangkan dimana saya bisa lari dari kemuakan hidup di Jakarta. Memang tidak salah bagian menyenangkannya, tapi setelah beberapa episode saya tenggelam dalam rangkaian cerita sebuah hiburan sederhana yang memberikan lebih dari sekedar kesenangan yang juga sederhana (di luar kenyataan bahwa OCD membuat saya mengulang-ngulang seri ini sampai lebih dari 7 kali kurang dalam sebulan).

Romantic Comedy (romcom), sepertinya lebih umum dikenal sebagai genre yang ringan, gak perlu logis-logis amat yang penting menghibur, manis dan jleb di dada. Tapi untuk EC, rasanya saya akan membuat pengecualian. Ketika saya pikir saya sedang kabur dari dunia nyata menuju dunia fantasi, saya justru masuk ke dalam dunia paralel yang rasanya sangat sehari-hari.

Entah apakah ini pengamatan yang rasis atau hanya sekedar kebetulan kedekatan budaya (as if such thing does exist) saya juga tidak tahu. Walaupun Chang Min dan Jin Hee sudah “tua” tapi tidak berarti mereka otomatis jadi orang dewasa dimana semua keputusan hidup dapat dibuat sendiri tanpa campur tangan atau pengaruh orang tua. Di mata orang tua ya mereka tetap anak-anak yang harus nurut apa kata orang tua. Familiar ya kedengarannya?

Makin familiar lagi rasanya karena banyak karakternya dalam tindakan sehari-hari digambarkan sering lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang walaupun tidak selalu nyaman bagi mereka tapi dilakukan untuk “kebaikan” bersama. Kebahagian juga tidak melulu bersifat individual tapi jika memungkinkan bersifat komunal. Ini juga sepertinya alasan kenapa Hallyu lebih banyak diterima di negara-negara non-Barat. Bahkan salah satu buku menyatakan bahwa “Drama televisi Korea memperkuat nilai-nilai tradisional Konfusianisme yang dipandang orang Iran sejalan dengan budaya Islam, menyiratkan kedekatan budaya turut berperan dalam gelombang Korea di negara-negara Islam”. Walaupun gak semulia ataupun seaagamis itu, rasanya saya (atau mungkin kita) juga pernah, kalau tidak sering, membuat keputusan seperti ini dalam kehidupan sehari-hari.

“Ya udah, gue sebenernya gak suka nih, tapi gue kerjain juga. Bukan karena gue family oriented banget atau percaya nilai-nilai kalian juga, tapi ya gimana?” Atau “Ya udah lah, selama kalian bahagia liat apa yang kalian mau liat aja.” Kira-kira gitu deh gambarannya. Jauh rasanya dari nilai-nilai kekeluargaan ala Hollywood atau dunia media sosial modern yang penuh dengan puja puji penuh cinta berbunga-bunga padahal ketemu mak bapak atau saudara kandungnya belum tentu juga setahun sekali. Kehadiran dan perbuatan nampaknya dihargai lebih dalam EC dibandingkan kalimat manis penuh janji.

Menarik juga buat saya melihat konflik nilai yang dihadirkan oleh EC. Mungkinkah ini juga gambaran dari dilema nilai yang sedang dialami masyarakatnya? Misalnya, di satu adegan mereka menampilkan pasangan suami-istri magang yang bersitegang karena si istri mencurigai dirinya hamil dan merasa dia harusnya tidak perlu menunda mimpinya karena dia pihak perempuan, sedang di adegan lainnya diperlihatkan Chang Min dan Jin Hee memberikan nasihat kepada Oh Jin Ae, adik Jin Hee, dan pasangannya tentang bagaimana menghadapi pasangan masing-masing untuk mencapai hubungan atau rumah tangga yang langgeng dan harmonis berdasarkan nilai-nilai yang sangat gender-stereotyped.

Namun di banyak kesempatan si penulisnya terlihat berusaha sekali meninggalkan stereotip-stereotip tersebut, in a very natural way possible I feel, sehingga membuat dialog-dialognya tidak terasa seperti seperti ceramah tapi memang keluar dari pikiran-pikiran manusia yang sedang dilema. Saya rasanya kepingin meluk Choi Yun Jung deh, si penulisnya, untuk menuliskan dialog-dialog yang makjleb, yang tidak bombastis dan berbunga-bunga, tapi rasanya sangat mungkin terucap dalam kehidupan nyata.

Misalnya nih ya, pada saat Jin Hee madesu sambil digendong Chang Min, dia curhat,

“Tapi…aku tidak bisa melakukan apapun selain menantimu. Aku tidak juga mendapatkan pekerjaan… sehingga semangatku untuk bekerja pun padam. Aku merasa terus menyusut dan keberadaanku di dunia ini terasa sia-sia.”

Jleb.

 

Atau pada saat ayah Chang Min sedang kritis pasca operasi dan menanyakan kabar hubungan Chang Min dengan Jin Hee. Dia bilang,

“…Tetap saja, aku tidak percaya hal-hal seperti itu. Melepaskan seseorang ketika kita mencintainya. Hal-hal seperti itu lah. Cintailah seseorang sebesar apa yang kita rasakan.”

Dan “disikat” Chang Min, “Terus kenapa Bapak hidup seperti itu?” Jengjengjet.

 

Adegan ini, pada khususnya, seperti menyarikan pernyataan Ninin bahwa mereka (orang-orang Korea yang digambarkan dalam K-Dramas) sepertinya mampu merangkul nilai-nilai tradisional mereka dan nilai-nilai yang datangnya dari luar, terutama barat, terutama lagi Amerika, dan menerapkannya dengan mulus serta pertanyaan saya apakah justru mereka malah mengalami ketegangan nilai akibat perbedaan tersebut.

Kerelaan Chang Min untuk melepaskan Jin Hee dan ketidaksetujuan ayah Chang Min pada keyakinan anaknya tepat mengkonfrontasikan perbedaan tersebut di dalam satu dialog, mirip seperti analisa Bae Keun Min mengenai film Siworae dan The Lake House dalam makalahnya Lost in cinematic translation?: The Lake House, Siworae and the Hollywoodization of Korean culture”.

“What Sung-hyun does in these scenes reflects his embedded Confucian values, namely salshinseongin. Salshinseongin is a Korean pronunciation of Chinese characters 殺身成仁, a Confucian virtue in which individuals are strongly recommended to sacrifice oneself (literally meaning killing oneself) to achieve ultimate humanity and justice. However, this Confucian virtue was removed for the Hollywood version as Alex dies in a car accident on his way to meet with her as part of his effort to build more of a relationship with her, which reflects and constructs individualism and self-interested motivations.”

Pernyataan Ninin dan pertanyaan saya tadi pun juga ditanyakan oleh Bae Keun-Min dalam makalah yang sama.

“This, then, raises a series of questions: How is Western (American) culture portrayed in Korean media? Have the connotations of these portrayals changed over time? Are Western values portrayed as something internalized or something imported or cool? Is there a possible relationship between the media portrayals and the acceptance of the foreign culture?”

Yang juga membuat EC terasa lengkap buat saya adalah hampir semua karakter utama dan pendamping tergarap dengan baik. Semua punya alasan, semua punya masa lalu dan latar belakang. Bukan hanya perasaan dan pikiran Chang Min dan Jin Hee yang digali, tapi juga orang-orang yang berhubungan dan ada di dekat mereka. Mereka ada bukan sebagai tempelan atau obyek penderita tapi benar-benar sebagai karakter-karakter utuh yang membuat lingkaran jadi penuh. Does that make any sense?

Seperti ibu Chang Min yang digambarkan mengidap “fairy tale syndrome” dan “princess syndrome”. Males belajar (satu-satunya dari keluarga yang semuanya menjadi dokter), sewaktu muda sibuk bersolek untuk mencari suami (sesuatu yang akhirnya jadi bahan celaan kakak adiknya sepanjang masa nampaknya), berpikir dia telah mendedikasikan seluruh kehidupannya untuk suami dan anaknya sehingga gamang ketika mendapati bahwa manusia lain, seberapapun dekat hidupnya dengan kita, juga punya kehidupan masing-masing. Bahwa anaknya adalah bukan hidupnya. Trés Gibranesque.

Lalu ada Chief Gook (Lee Pil Mo)yang patah hati dengan perpisahan orang tuanya sehingga “mendisiplinkan” hidup dan hatinya sebagai antisipasi agar dia tidak mengulangi siklus yang sama dan tidak melakukan hal yang tidak dia sukai (dalam hal ini bercerai dan meninggalkan anak) pada orang lain (dalam hal ini anak). Prinsipnya ini sempat mendapat “celaan” dari Prof. Shim (Choi Yeo Jin), mantan pacar yang setia menanti tanpa memaksa, bagaimana mungkin orang sebertanggungjawab Chief Gook akan mampu mengabaikan anaknya? TouchéChief Gook pun digambarkan terjebak dalam berbagai unfinished businesses.

Dengan format K-Drama yang hanya terdiri dari beberapa episode (rata-rata 16 sampai 20 episode), si sutradara dan penulis cerita pas mengeksplorasi pasang surut kisah cinta Chang Min dan Jin Hee, tidak kekurangan tidak berlebihan. Tidak ada “restrain and release” alias tarik ulur yang gak karu-karuan panjangnya. Tidak ada plin-plan kurang penting karena kehadiran orang ke-3, ke-4, ke-5 dan seterusnya. Jika akhir perjalanan mereka dibuat seperti itu (berusaha supaya gak spoiler), akhir tersebut merupakan hasil dari sebuah proses yang wajar melalui penyadaran-penyadaran kecil di sepanjang jalan dan bukan karena “glorious wake up calls and all the grand love gestures”. Ada refleksi dan instropeksi dari cinta yang belum selesai, bukan sekedar CLBK dan romantisme masa lalu.

Eksplorasi ini pas disampaikan melalui chemistry yang juga pas di antara pemain-pemainnya, terutama Choi Jin Hyuk, Song Ji Hyo, Lee Pil Mo dan Choi Yeo Jin. Di luar akting, cerita serta chemistry, formula standar saya buat romcom tentu karakter utamanya mukanya matching! Kalo gak matching gak enak buat ditonton :p Entah chemistry bikin muka jadi matching atau kebalikannya, tau deh. Nah ini dia aspek gak logis dari formula romcom sukses preferensi saya.

Saya juga suka dengan pengembangan karakter dan ceritanya. Mereka gak terjebak di situ-situ aja. Seiring berkembangnya cerita, karakter mereka pun berkembang jadi lebih multi-dimensional dan emosi yang keluar jadi lebih campur aduk. Episode-episode awal yang tadinya lebih didominasi aspek komedi berkembang ke arah drama yang tidak didramatisir. Ditambah dialog-dialog sederhana tapi sering makjleb rasanya, lupa sudah kekagetan awal saat melihat ragam kadar ketidakaslian muka hampir semua pemainnya terhapus pesona kewajaran akting mereka. Apalagi yang jadi emaknya Chang Min (Park Jun Keum) dan Prof. Shim Ji Hye (Choi Yeo Jin).

Sedikit keluar jalur, saya sangat terkesan dengan adegan awal dan akhir dimana Jin Hee berhenti berlari dan terdiam sejenak merenungi hidupnya dalam gerak pelan keriuhan ruang gawat darurat. Rasanya seperti sebuah kehidupan yang mencapai full circle.

Kebetulan gara-gara EC saya juga mendadak demam Hallyu kembali (gelombang ke-dua artinya buat saya). Jadilah terserap maraton beberapa drama Korea lainnya dan menyaksikan akting beberapa dari pemain EC. Choi Jin Hyuk di The Heirs & I Need Romance, Choi Yeo Jin di I Need Romance, Park Jun Keum di The Heirs dan Jeon Soo Jin di The Heirs. Akting mereka semua (kecuali Jeon Soo Jin, pemeran Oh Jin Ae, adik Oh Jin Hee, di EC) tidak ada yang sekuat dan sewajar saat mereka berakting di EC. Dari segi cerita pun serial-serial ini tidak ada yang selengkap dan sekuat EC. The Heirs, K-Drama terheboh sepanjang 2013, cuma terjebak dalam cerita gaya-gayaan dan keren-kerenan, juvenile, seksis, feodal dan patriarkis serta dangkal. Menang star-studded line ups kayaknya. I Need Romance juga cuma centil-centilan sok emansipasi perempuan cemen ala Sex And The City.

Lucunya di periode yang bersamaan, stasiun TV lain (di Korea Selatan) menayangkan serial Cunning Single Lady, yang punya premis, plot, bahkan adegan-adegan yang sangat mirip dengan EC. Bedanya eksekusinya bubar jalan. Agak aneh juga rasanya bahwa dari beberapa serial yang saya sebutkan tadi, justru EC yang punya rating rata-rata paling rendah. Dianggap kurang “heboh” kali ya. (Update: rating TV kabel, dalam hal ini tvN, memang pada umumnya lebih rendah daripada TV publik seperti KBS, MBC & SBS)

Dari beberapa K-Dramas yang saya sebutkan tadi, rasanya ada yang agak aneh karena semua sepertinya menunjukkan “kekaguman” mereka pada Amerika. Entah kenapa mereka sering sekali merujuk ke Amerika sebagai simbol kesuksesan. Inlander banget. Mungkin gejala ini menarik untuk dibahas di kesempatan yang berbeda karena rasanya omongan saya sudah kepanjangan kali ini. (Update: Sekarang saya tahu. Korea Selatan memang salah satu negara pendukung terdepan Amerika Serikat)

 

 Oh Chang-Min memohon cinta Oh Jin-Hee kembali