A Plea For Justice: Signal / Sigeuneol (시그널) (2016)

Signal 1
Lee Je Hoon, Kim Hye Soo, Jo Jin Woong

Saya nggak ngerti kenapa waktu itu saya melewatkan Signal saat dramanya tayang dan lompat dari Reply 1988 ke Dear My Friends. Mungkin karena waktu itu sibuk mengejar (drako) yang lain atau mungkin juga karena saya gak pernah terlalu menggilai genre-nya.

Signal, seperti banyak didaulat penontonnya, adalah salah satu drama terbaik di 2016. Namun dengan genre drama kriminal, sepertinya tidak banyak yang mengulas kentalnya kritik sosial politik Signal.

 

Sekilas Signal mengingatkan saya pada “Frequency”, sebuah film tahun 2000 yang dibintangi Dennis Quaid (sebagai Frank Sullivan, ayah) & Jim Caviezel (sebagai John Sullivan, anak). Jika di “Frequency” si anak berkomunikasi dengan almarhum bapaknya sehari sebelum si bapak meninggal 30 tahun lalu dengan medium walkie-talkie, di Signal Lee Jae Han (Jo Jin Woong) menghubungi Park Hae Young (Lee Je Hoon) saat Hae Young sedang berusaha menghubungi pengemudi truk yang manghalangi mobilnya di tempat parkir. Secara konsep memang keduanya mirip, tapi kekuatan Signal adalah bagaimana penulis mengelaborasi konsep tersebut sehingga hasilnya tidak sekedar menjadi pengulangan.

Screenshot (191)
Park Hae Young (Lee Je Hoon) & Lee Jae Han (Jo Jin Woong)

Park Hae Young ditangkap Cha Soo Hyun (Kim Hye Soo) karena disangka tuking kuntit seleb yang suka menjual gosip-gosip dunia hiburan. Ujung-ujungnya Hae Young malah bergabung menjadi bagian dari Cold Case Team, bagian dari tim kepolisian yang mengusut kasus-kasus lama yang belum atau tidak terpecahkan. Hae Young dan Jae Han kemudian bertukar informasi dengan medium walkie-talkie dan bekerja sama memecahkan kasus-kasus tersebut bahkan berusaha untuk mencegah agar kejahatan tersebut tidak terjadi.

Kasus-kasus yang ditampilkan dalam Signal berdasarkan beberapa kasus kejahatan terkenal di Korea, seperti kasus pembunuhan berantai Hwaseong (yang juga jadi inspirasi film “Memories of Murder”) dan pemerkosaan berkelompok Miryang. Beberapa insiden besar yang jadi latar belakang juga berdasarkan kejadian sebenarnya. Persamaan keduanya adalah bahwa keduanya merupakan hasil kejahatan manusia dimana tidak ada seorangpun terbukti bersalah dan bertanggung jawab atas insiden-insiden tersebut.

Serial kriminal seringkali tidak memiliki dimensi lebih dari sekedar dikotomi jahat dan baik. Namun dengan mengeksplorasi kasus-kasus kejahatan yang tidak terpecahkan, Signal dengan cerdas juga melontarkan kritik keras, yang bahkan hampir terasa seperti sebuah permohonan, atas cacat dan korupnya sistem peradilan dan keadilan bagi masyarakat dimana hukum hampir selalu tumpul ke bawah. Didukung dengan dialog yang tajam, Signal terasa begitu berlapis secara dimensi maupun perasaan.

“Do you know why your brother was framed? It was because he had no money, power or connections.”

 

“Hilang” sangat lekat menyelimuti Signal, baik dalam arti fisik maupun rasa. Cha Soo Hyun dan ayah Lee Jae Han yang kehilangan Lee Jae Han; Park Hae Young dan kakaknya, Park Sun Woo yang kehilangan kehangatan keluarga hingga Lee Jae Han yang (nyaris) kehilangan harapan pada sistem peradilan dan negara. Heart-breaking.

Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearances) adalah kejahatan yang paling banyak melanggar hak-hak dasar manusia. Bagi yang ditinggalkan, penderitaannya bisa berlangsung bertahun-tahun karena tidak pernah ada kejelasan sehingga mereka tidak tahu apakah harus terus berharap dan menanti atau merelakan. Penghilangan orang secara paksa seringkali berkaitan dengan kejahatan rezim politik dan terjadi secara struktural. Signal mampu menterjemahkan ini dengan bahasa yang non-politis dan lebih condong ke humanis. Hasilnya bukan hanya mencengkeram namun juga terasa indah walaupun menyedihkan dan membuat patah hati.

Naskah Signal ditulis Kim Eun Hee dengan amat detil nyaris tanpa lubang. Adegan-adegan kunci disebar dan diulang di episode yang berbeda namun dijahit dengan sangat halus sehingga membuat penonton berpikir “Oh, iya waktu itu kan begini…” Cantik sekali. Perpindahan kamera yang cair dan mulus dari masa kini ke masa lalu dan begitu pula sebaliknya membuat Hae Young dan Jae Han seakan-akan tidak terpisahkan oleh masa namun berada di ruang waktu yang sama. Padahal ide komunikasi beda masa ini bisa aja terjebak jadi dagelan konyol gak masuk akal.

Screenshot (151)

Namun ini tidak lantas menjadikan Signal melulu serius. Signal juga menyelipkan humor dan romansa yang terasa menyatu dan wajar, sesuai konteks dan tidak dibuat-buat. Walaupun episode terakhir sedikit terasa lepas dan kurang intens, tapi pentupnya membuat Signal menjadi utuh full circle.

 

Signal 6
Lee Je Hoon

Ini dapat terjadi tentunya juga berkat akting andal 3 pemeran utamanya, Lee Je Hoon, Kim Hye Soo dan Jo Jin Woong. Yes, Lee Je Hoon is somewhat over the top in earlier episodes. Tapi seiring episode berjalan, lebaynya mulai menurun dan gak terlalu teatrikal lagi. Somehow that almost didn’t bother me at all. Biasanya saya akan kecapean nonton yang modelan begini, tapi akting Lee Je Hoon masih terasa relevan buat saya.

Signal 7

Signal 10
Kim Hye Soo

Kim Hye Soo tampil sangat menawan sebagai Cha Soo Hyun muda yang sedikit lugu, manis dan penurut sekaligus Cha Soo Hyun dewasa yang berwibawa, tenang dan taktis. Kim Hye Soo adalah satu-satunya pemain yang berada di 2 masa dan mengalami perubahan karakter cukup signifikan di drama ini. Something about Kim Hye Soo’s face that makes her believable as both a 20 year-old and 40 year-old.

 

 

 

 

Screenshot (179)

 

 

Salah satu adegan Kim Hye Soo yang paling mengesankan buat saya adalah saat dia menyadari bahwa ingatannya telah berubah, saat itu juga.

 

 

 

Signal 8
Jo Jin Woong

Tapi buat saya Jo Jin Woong adalah jiwanya Signal. Lee Jae Han di tangan Jo Jin Woong jadi sosok yang sangat memikat di luar kesederhanaan karakternya. Lee Jae Han blas perwujudan naruni manusia yang mendambakan keadilan. Hidupnya lempeng berjuang menegakkan kebenaran walaupun dibikin patah hati melulu oleh sistem yang busuk.

Geraknya grasa-grusu, bahasa tubuhnya canggung, tapi gigih, pantang menyerah dan penuh harapan. Seperti halnya Lee Jae Han merupakan perwujudan naruni manusia akan keadilan, Signal adalah manifestasi sosok Lee Jae Han yang merindukan dunia yang lebih baik.

“Is it the same there? If you’re rich and have connections, do you get off the hook after doing shady deeds? 20 years have passed. Something must have changed.”

“But if someone committed a crime, regardless of how much money or conections they have, they must pay for it.”

Di episode pembuka, penonton dihubungkan dengan karya sutradara Kim Won Seok sebelumnya, Misaeng (yang juga bagus tapi belum sedahsyat Signal. Dua-duanya tayang di saluran televisi tvN), melalui alusi gosip (fiktif tentunya) cinta segi tiga Im Si Wan, Kang So Ra dan Byun Yo Han (ketiganya bermain di Misaeng). Sedangkan di episode penutup Kim Won Seok seperti memberikan homage pada 2 film mafia terkenal Korea karya sutradara Yoo Ha, “A Dirty Carnival” & “Gangnam Blues 1970”, dimana yang pertama Jo Jin Woong juga berada di dalamnya sebagai pemeran pembantu. I don’t know why. Mungkin hanya sekedar adegan perkelahian mafia yang umum. Begitu juga permainan aspek rasio gambar yang diregang secara vertikal sepertinya merupakan homage terhadap “Memories of Murder”. Di luar gambar, musik pun memiliki warna dan rasa yang mirip dengan Memories, gelap dan menyayat dengan lagu-lagu bernuansa masa lalu. Apalagi lagu Melancholic Letter (우울한 편지) oleh Yoo Jae Ha (유재하) yang bermain di latar setiap aksi pembunuhan di Memories juga muncul di Signal episode 10.

(Searah jarum jam) A Dirty Carnival, Gangnam Blues, Signal

 

 

Secara pribadi, saya menempatkan Signal sejajar dengan Heard It Through The Grapevine. Mind-blowingly brilliant.

 

Mungkin Sebenarnya Hidup Itu Memang Tak Bermakna: Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동) (2010)

fullsizephoto146186
Hye Hwa (Yoo Da In)

“It might be possible that the world itself is without meaning.”

(Mrs. Dalloway – Virginia Woolf)

Apa jadinya kalau ternyata kehidupan ini pada akhirnya yah begitu saja dan tak ada maknanya? Entahlah. Mungkin banyak orang langsung tenggelam dalam depresi berkepanjangan atau histeris meratapi hidup tanpa kejayaan yang dicita-citakan. “Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동), entah mengapa, meninggalkan rasa “mungkin sebenarnya hidup itu memang tak bermakna” tersebut buat saya.

“Re-encounter” dibuka dengan adegan Hye Hwa (Yoo Da In) mengendarai motor untuk menjemput seekor anjing pendatang yang tidak diinginkan oleh pemilik rumah. Hye Hwa (nampaknya) memiliki obsesi untuk menyelamatkan anjing-anjing terlantar atau yang tak diinginkan. Sebagai mata pencaharian, ia memiliki salon anjing kecil yang bersebelahan dengan klinik hewan, atau mungkin juga bagian dari klinik tersebut. Selain mengurus anjing, Hye Hwa juga terkadang (atau mungkin juga sering) mengurus anak si dokter klinik sebelah hingga si anak ingin memanggilnya ibu. Kedekatan Hye Hwa dengan si anak dan aksi-aksi penyelamatannya terasa seperti sebuah manifestasi penebusan entah rasa bersalah atau rasa kehilangan atau bahkan keduanya karena di masa lalu Hye Hwa tidak dapat “menyelamatkan” bayinya sendiri yang meninggal tak lama setelah dilahirkan.

Paling tidak itulah yang tertanam di ingatan Hye Hwa selama 5 tahun. Sampai kemudian mantan kekasih dan ayah dari anaknya, Han Soo (Yeo Yeon Sook), yang “menghilang” sebelum kelahiran bayi mereka, mendadak muncul di hadapannya dan mengatakan bahwa anak mereka ternyata masih hidup.

“What if?”

The deadly question. Bagaimana jika ternyata Han Soo benar? Bagaimana jika ternyata anak mereka masih hidup dan tidak meninggal seperti yang selama ini tertanam di ingatan Hye Hwa? “Bagaimana jika” begitu menghantui Hye Hwa dan Han Soo hingga keduanya sesaat terjebak dalam delusi yang diciptakan Han Soo.

“Re-encounter” sebenarnya berpotensi untuk jadi melodrama super melankolis, tapi sutradara Min Young Keun nampaknya lebih tertarik untuk menghadirkan rasa sepi ketimbang bermain dengan air mata. Hye Hwa dewasa kini tinggal sendiri ditemani anjing-anjingnya. Ia masih memelihara kegemaran mengumpulkan potongan kukunya dalam sebuah tabung film kamera, seperti ingin menyimpan dan mengabadikan bagian dirinya yang dibuang. Atau mungkin seperti interpretasi Ninin, Hye Hwa masih menyimpan cinta dan masa lalunya di kuteks bergambar polkadot. Ibunya yang menua kini harus berpegangan pada bentangan tali rafia jika ingin ke kamar mandi. Han Soo yang kembali ke rumahnya kini berjalan setengah tertatih, mungkin akibat luka tembakan atau cedera saat latihan militer.

Semua disampaikan Min Young Keun dengan tenang, nyaris tanpa emosi eksterior. Suppressed emotions. Ini sangat masuk akal mengingat kondisi kehidupan keluarga Hye Hwa. Untuk sebagian orang, mereka tidak mampu untuk jadi melankolis. Ada hidup yang harus dijalani, ada perut yang harus diisi. Mungkin bagi sebagian orang lainnya, apalagi mereka yang kehidupannya berada di tengah ke atas piramida Maslow, hidup (idealnya) berisi mimpi-mimpi yang patut diperjuangkan untuk diwujudkan. Hye Hwa tidak berada di strata ini. Kesehariannya hanya berkutat pada anjing, sama seperti banyak orang yang kesehariannya hanya berisi rutinitas-rutinitas penyambung hidup. Kadang terlalu lelah bahkan untuk merasakan perasaannya sendiri, apalagi mencari makna.

Perasaan-perasaan yang ditekan oleh Hye Hwa dewasa dihadirkan dengan subtil oleh Yoo Da In (yang baru saya kenal melalui film ini), bertolak belakang dengan Hye Hwa remaja yang berani dan cuek. Yoo Yeon Seok, dalam peran terbaiknya (buat saya), mewujudkan Han Soo ke dalam sesosok anak mama yang tak mampu menghalau patah hati sehingga harus menciptakan delusi untuk menyembuhkan luka, bukan hanya dirinya namun juga luka Hye Hwa.

fullsizephoto146176
Han Soo (Yoo Yeon Seok)

Ketenangan, kesepian, kedataran, keheningan atau apalah perasaan yang nyaris tanpa gejolak ini entah kenapa terasa begitu menghisap. Beberapa kali menyaksikan “Re-encounter”, saya tetap tidak mampu meraba dengan tepat perasaan film ini. Mungkin inilah yang membuat saya merasa pada akhirnya hidup mungkin yah hanya begitu saja. Sekedar waktu yang berlalu, sampai nanti saatnya mati. Bahkan saat menulis ini pun rasanya begitu samar. Sama seperti tatapan Hye Hwa saat memundurkan mobilnya ke arah Han Soo. Samar.

Re-encounter Trailer (2010)

Push Your Limit. See The Bigger Picture

Sedih dan patah hati. Itu yang saya rasakan belakangan ini. Dari mengikuti kasus pemerkosaan, pemisahan gerbong perempuan di kereta api sampai kemarin yang paling baru, meninggalnya pekerja iklan karena lembur 3 hari. Tweet terakhirnya berisi, “30 hours of working and still going strooong.”

Kasusnya mungkin beda-beda, tapi ada benang merah yang saya tarik dari komentar, pendapat serta reaksi orang-orang di media sosial dari tiga kasus tersebut, yaitu korbanlah yang harusnya berhati-hati, bukan sistem dan hukumnya yang dibenahi. Di kasus perkosaan banyak yang berkomentar, “Kenapa mau disuruh datang ke kos? Kenapa baru setelah hamil 7 bulan melapor ke polisi? Kenapa bisa terjadi berkali-kali?” Logika macam apa itu?

Di pemisahan gerbong perempuan banyak yang berpendapat itu sebagai sebuah tindakan perlindungan. Perlindungan terhadap apa? Terhadap nilai-nilai patriarki? Kalau perlindungan terhadap kejahatan seksual maupun kejahatan lainnya, bukan semestinya pelakunya yang dihukum? Kenapa justru melanggengkan diskriminasi dan melebarkan jurang kecurigaan atas nama perlindungan?

Mengubah pola pikir emang gak bisa ditempuh dalam jangka waktu pendek. Butuh waktu yang panjang, amat panjang bahkan, yang belum tentu dapat kita lihat atau rasakan hasilnya saat kita masih hidup. Tapi selalu terjebak dalam kebijakan-kebijakan darurat ya juga bukan solusi dan makin memperparah masa depan karena kita justru mencederai pemikiran, logika dan hati nurani.

Masing-masing kasus memang gak mungkin dibahas secara sempit dan disamaratakan. Perlu penelaahan, penjabaran, pemahaman bahkan penelitian yang lebih luas dan dalam lagi. Itu juga salah satu alasan tulisan saya ini.

Kejadian yang paling baru adalah meninggalnya seorang pekerja iklan karena lembur 3 hari ditambah mengkonsumsi terlalu banyak minuman penambah energi. Gak lama sesudah berita tersebut keluar lalu bermunculanlah di berbagai media sosial postingan menanggapi hal ini. Sebagian besar yang saya baca intinya bilang, “Perusahaan tuh memang serakah. Mereka cuma mau memeras pekerjanya. Makanya kita sebagai orkerja harus “Know Our Limit””. Duh kok kayaknya sederhana amat ya solusinya?

Apa iya semua orang di awal masa bekerjanya udah tau bahwa korporat-korporat besar itu jahatnya amit-amit? Saya rasa hampir semua orang juga belum tentu tahu hal tersebut saat mereka baru mulai masuk dunia pekerjaan. Yang mereka tau mungkin hanya abis sekolah/kuliah lalu kerja, entah untuk alasan eksistensi diri, cari makan atau bahkan hanya sekedar mengikuti standar tahap kehidupan manusia.

Yang bisa bilang “Know Your Limit” saya asumsikan sudah pernah melalui kegilaan tersebut atau cukup nyaman dengan hidupnya saat ini makanya bisa bilang cabut aja kalau rasanya udah gak nyaman. Tapi apakah semua orang punya privilege kenyamanan itu? Kalau nggak suka, cabut aja. Sama seperti saya sering banget dikomentarin, dari pada “marah-marah” melulu, mending pindah aja dari Indonesia. Ampun deh, kelas menengah Indonesia.

Belum lagi di dalam masyarakat selalu ada banyak hubungan kekuasaan, dari yang sehat sampai yang super sakit, seperti kasus perkosaan yang saya singgung sebelumnya. Ini disadari gak sih? Apakah solusinya hanya sesederhana “mawas diri”?

Apa iya ketika sudah tidak nyaman dengan sistem kerja perusahan, hanya dengan mengungkapkan keberatan pada atasan akan membawa perubahan? Kalau iya mungkin budaya sistem kerja, dalam hal ini dunia periklanan, sudah membaik dari kapan tau. Tapi nampaknya gak sesederhana itu. Dalam budaya kerja yang sangat kapitalistik manusia nampaknya hanya dilihat sebagai alat produksi, replaceable. Lo gak suka, silahkan cabut atau gue gantiin. Mengerikan bukan? Dan ini terjadi di banyak sektor pekerjaan lainnya.

Lalu bagaimana mungkin orang-orang yang tercekoki atau mencekoki orang lain dengan jargon-jargon macam “Push Your Boundaries” sekarang bicara “Know Your Limit”? Apalagi kalau ada yang merasa “been there done that”. Justru kalau sudah pernah melalui harusnya sadar bukan bahwa ada sistem lebih besar yang menggerakkan kehidupan kita sehari-hari? Atau selama ini gak pernah sadar? Ini kan menyedihkan.

“Push Your Boundaries” untuk apa? Untuk memenuhi pundi-pundi korporasi yang tamak? Untuk jadi yang “terbaik”? Untuk pencapaian prestasi yang abstrak? Sebuah ilusi yang dibentuk oleh propaganda korporasi kapitalis melalui ayat-ayat motivasinya.

Kita tentu saja tidak pernah seutuhnya independent karena kita selamanya interdependent, apalagi kalau kita hidup dalam sebuah sistem masyarakat dan negara. Bukankah kasus terakhir juga  terjadi dalam institusi yang mengagungkan team work? Lalu apa pertanggungjawaban mereka ketika ada kejadian ini? Saling mengingatkan untuk jaga diri sendiri karena resiko akhirnya ditanggung masing-masing?

Sayangnya, bukan hanya dalam hal kasus ini tapi juga dalam kasus-kasus lainnya, banyak orang cuma mau melihat yang ada di depannya aja. Overworked, salahkan perusahaan yang jahat dan diri yang gak tau batasan. Pelecehan seksual, pisahkan manusia berdasarkan gendernya. Perkosaan, baik-baik jaga diri. Padahal jauh sebelum hal-hal tersebut terjadi sudah ada proses panjang dan kompleks yang mendahului dan menjadi penyebabnya. Bahkan seringkali menciptakan lingkaran setan.

Entahlah. Mungkin banyak orang yang masih berpikir bahwa hal-hal ini terjadi akibat pilihan sendiri, maka berhati-hatilah karena akibatnya juga akan ditanggung sendiri. Terjadi di luar kekuasaan korporasi yang buas, negara yang lalai, hukum yang tiarap, gempuran nilai-nilai “positif” (kerja tim, prestasi, passion, dll dll) yang dimanipulasi perusahaan-perusahan besar dan raksasa untuk menggerakkan alat produksinya demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dll.

Mawas diri ya tentunya penting, tapi mawas diri bukan cuma sekedar “Know Your Limit”, lebih dari itu juga menyadari bahwa kita adalah bagian dari sebuah sistem yang lebih besar. Ada hal-hal yang bisa kita
kendalikan dari dalam diri kita sendiri, tapi lebih banyak lagi hal-hal yang butuh kekuatan besar untuk dapat mencapai sebuah perubahan. Butuh “penyadaran” kolektif.

Banyak hal yang mungkin akan terlalu sulit diubah, bahkan mungkin selamanya kita bisa terjebak dalam lingkaran setan tersebut. Tapi selalu penting untuk memiliki kesadaran akan hal-hal lain di luar diri kita
sendiri dan dunia kecil kita.

*Catatan ini merupakan sedikit rangkuman dari diskusi dengan teman-teman lainnya (Anya, Mike, Ninin, Edo, Iskandar, Eko, Yoshi, Acha, Fanny, Ney). Setengah lebihnya meminjam istilah dan pemikiran mereka*

on black, white, grey and dust that gets in your eyes

Kemarin saya terlibat perdebatan panjang mengenai moralitas dan sistem yang awalnya di mulai dari salah satu postingan teman saya di Path. Ketika saya mencoba memberikan pendapat bahwa mungkin seharusnya kita tidak seenaknya menghakimi moral orang yang (terpaksa) meninggalkan anaknya di jalanan, komentar saya langsung dimentahkan teman(-teman) si empunya Path, bahwa apa pun alasannya, “membuang” bayi adalah salah dan atas alasan apa pun seharusnya tidak pernah boleh dibenarkan.

Perdebatan berlangsung cukup panjang dan alot yang bahkan sampai di ujungnya saya rasa tidak ada satu orang pun yang mau melihat poin2 yang saya coba sampaikan. Hampir semua sibuk berkutat menjadi polisi moral.

Pada akhirnya, saya tidak tahan untuk tidak membagi perdebatan semalam di ruang yang lebih luas. Berikut adalah perdebatan lanjutan yang terjadi di Path saya. Sebagai keterangan pelengkap, saya menampilkan pendapat saya atas apa yang terjadi di Path teman saya (bisa dilihat dari foto 1). Gambar-gambar selanjutnya adalah argumen saya, Anya & Nathanael untuk menjawab pertanyaan atau argumen dari Andersen (Andre), pemilik Path dimana awal perdebatan ini berlangsung.

Untuk melihat awal pembicaraan ini dengan jelas tentunya juga harus melihat percakapan awal yang terjadi di Path tetangga tersebut. Namun tentunya hanya dapat saya cantumkan jika si empunya Path berkenan.

1
Screen capture dari perdebatan awal yang terjadi di Path tetangga. Tentu hanya cuplikan dari keseluruhan thread postingan tersebut
2
Masih sambungan dari pembicaraan sebelumnya.
3
Awal postingan di Path saya. Kenapa saya banyak pakai kata militan? Ya balik lagi harus liat argumen di Path tetangga tersebut

Sebagian komentar saya rasa gak perlu ditampilkan di sini karena gak relevan dengan masalah yang sedang dibicarakan.

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Thoughts?