Parasite: Nafas Drama Korea dalam Kompilasi Filmografi Bong Joon Ho

Parasite 1

Dulu saya pernah bertanya-tanya, mengapa saya bisa menonton Memories of Murder (2003)  berkali-kali, padahal film tersebut diangkat dari kisah nyata yang artinya tidak banyak ruang tersisa bagi sutradara untuk berimajinasi liar. Setelah menonton Parasite (2 kali!), sepertinya saya menemukan jawabannya.

Membaca filmografinya, Bong Joon Ho hampir selalu menawarkan premis sederhana yang disampaikan dengan narasi linear. Sinematografi dan musik yang dramatis tidak serta-merta menjadikan film-film Bong pretentious. Tapi saya curiga dua elemen tadi justru yang membuat banyak orang seringkali melihat film-film Bong Joon Ho sebagai karya yang avant garde dan gila, apalagi Bong juga suka dengan metafora-metafora kecil. Padahal buat saya kebalikannya. Bong juga suka menyelipkan bercandaan konyol segelap apapun filmnya. Tidak salah jika kemudian ada yang menyandingkan Parasite dengan film-film Warkop DKI yang juga kerap berisi satir sosial.

Menonton drama Korea mungkin bisa memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana kelas merupakan topik bahasan yang sangat lazim, nyaris selazim nasi dan kimchi bagi orang Korea, dalam tayangan yang distereotipkan sebagai tontonan kacangan atau alay. Dari drama harian atau akhir pekan (yang ceritanya kadang luar biasa tidak masuk akal), komedi romantis dengan fairy tale syndrome-nya, kriminal, sosial politik sampai horor; dari ribut-ribut ala orang kaya kompleks vs orang miskin kampung sebelah sampai kesenjangan struktural, kelas hadir baik sebagai subyek maupun latar belakang dalam drama Korea. Bisa jadi ini juga jadi salah satu alasan kenapa Bong bilang film ini mungkin terlalu Korea buat penonton internasional (terlebih bagi mereka yang tidak menonton drama Korea), di luar simbol-simbol lokal lain yang (tentunya sebagai bukan orang Korea) saya juga belum paham benar. Mungkin.

Parasite 3
Keluarga Kim bekerja serabutan sebagai pelipat box pizza di apartemen semi-basement (banjiha/반지하) mereka

Namun tidak seperti drama yang punya keleluasaan episode untuk bereksplorasi membangun narasi, film harus mampu memadatkan argumen-argumennya dalam waktu yang terbatas. Bong melakukan ini dengan menciptakan penanda yang dihadirkan berulang kali untuk membangun intensitas pemicu konflik. Jika dalam Mother (2009) penanda itu adalah ejekan Bodoh kepada Do Joon (Won Bin), dalam Parasite (2019) Bong menggunakan Bau dan Batas.

Mr Park (Lee Sun Kyun), seperti layaknya kelas menengah atas pretensius lainnya, (seakan-akan) memberikan kebebasan dan menghargai pekerja-pekerjanya, selama mereka tidak “melewati batas”. Dalam kata Batas terkandung makna kesetaraan yang munafik. “I’m all for (insert cause/term), as long as…”. Bayangan melintasnya para pekerja rumah tangga ke dalam eksklusivitas teritori sosial imajiner pasangan Park membuat fake woke people ini gerah, segerah kelas menengah Jakarta yang terganggu dengan gegar budaya masyarakat kelas bawah terbelakang yang tidak pernah mencicipi kedisiplinan bermasyarakat ala negara dunia pertama atau kejijikan kaum borjuis mencium toilet Plaza Indonesia yang hilang kewangiannya tergantikan bau busuk hajat rakyat jelata di gegap gempitanya uji coba MRT. Kemunafikan Mr. Park sedikit banyak mengingatkan saya pada Han Jung Yo, kepala keluarga keluarga Han dalam Heard It Through the Grapevine (2015) (still, one of Korean drama’s masterpieces to date), drama Korea yang juga menguliti dan mengolok-olok pretensi basi kaum borjuasi.

Parasite 2
Mr Park (Lee Sun Kyun) & Yeon Kyo (Cho Yeo Jeong)

Jika Batas adalah penanda bagi Mr Park, Bau adalah penanda bagi Kim Ki Taek (Song Kang Ho). Isyarat Bau yang didemonstrasikan berulang kali menggoyahkan kepercayaan diri Ki Taek karena bau mengafirmasikan posisi marjinalnya. A quite Orwellian of Bong. Maka kemudian ledakan kemarahan Ki Taek melihat Mr Park menutup hidung memang seperti bom waktu, seperti Hye Ja (Kim Hye Ja) dalam Mother yang mengamuk mendengar putra kesayangannya dipanggil Bodoh.

But there was another and more serious difficulty. Here you come to the real secret of class distinctions in the West–the real reason why a European of bourgeois upbringing, even when he calls himself a Communist, cannot without a hard effort think of a working man as his equal. It is summed up in four frightful words which people nowadays are chary of uttering, but which were bandied about quite freely in my childhood. The words were: The lower classes smell.

The Road to Wigan Pier, Chapter 8 – George Orwell

Parasite 7
Song Kang Ho sebagai Kim Ki Taek. Lewat Parasite dan The Host, akhirnya saya akhirnya paham kenapa Song Kang Ho jadi kesayangan banyak sutradara di Korea Selatan

Tidak hanya menghadirkan konflik vertikal (yang dalam film-film Bong sering disimbolisasikan secara harfiah dengan ruang-ruang vertikal), tapi Parasite juga menunjukkan bahwa peperangan sesungguhnya justru terjadi di lapisan bawah. Apapun masalahnya, kaum elit (di seluruh dunia) selalu jadi yang lebih dahulu lolos dari jeratan masalah, sedangkan rakyat jelata tetap gontok-gontokan untuk bertahan hidup. Apalagi ketika sudah menyangkut urusan perut.

Parasite 4
Kakak beradik Kim Ki Jung (Park So Dam) & Kim Ki Joo (Choi Woo Shik)

Seperti dalam banyak drama Korea, Parasite juga menolak dikotomi perspektif hitam – putih, walaupun Bong tetap mengambil posisi dalam film ini. Tipu-tipu keluarga Kim ‘menginvasi’ ruang mewah keluarga Park berangkat dari kebutuhan mereka bertahan hidup. Untungnya si empunya rumah bukan ‘monster’. Dalam kepala Ki Taek, ini artinya “Mr Park adalah orang baik walaupun dia kaya”. Choong Sook (Jang Hye Jin), istri Ki Taek, kemudian mengoreksinya dengan “Mr Park bukan kaya tapi baik. Dia bisa baik karena kaya. Gue juga bisa baik kalau kaya”. Pahit memang melihat keluarga Kim harus menjustifikasi usahanya mencari pekerjaan (rendahan pula) karena merasa bersalah sudah menipu dan menjadi Parasit di rumah keluarga Park. Entah Bong mengutip atau terinspirasi, yang jelas kalimat ini adalah kalimat paling menohok & mengesankan dalam drama My Ahjussi (2018) (yang juga dibintangi Lee Sun Kyun).

Parasite kemudian menjadi salah satu karya Bong yang paling saya nikmati justru bukan karena “kebesaran” idenya. Kebrutalan Parasite bisa jadi tidak “segila” film-film Park Chan Wook dan kesedihannya bisa jadi tidak seperih film-film Hirokazu Koreeda (walaupun di kali kedua saya menonton, saya mewek menyaksikan tatapan sedih Pak Ki Taek setiap tuan dan nyonyanya tutup hidung atau melihat kesigapan Kim Ki Woo (Choi Woo Shik) mengambil setiap kesempatan walaupun dia tidak akan pernah living his dreams), namun saya menyukai keluwesan (dan kemauan) Bong menjembatani ranah film komersil dan the so-called film seni, bahkan memasukkan rasa drama dalam kasus Parasite. Kalau diibaratkan makanan, Parasite terasa seperti masakan dengan berbagai macam bumbu yang menyatu halus dengan rasa yang tidak tajam sehingga membuat penyantapnya ingin mencicipi kembali untuk meraba rasa apa yang tercampur dalam makanan tersebut, if that makes any sense. Ini nampaknya jawaban pertanyaan saya di awal tadi.

Menggabungkan banyak elemen dari film-film terdahulunya, ditambah dengan kerapian semua aspek film, mulai dari cerita, alur, hingga akting para pemainnya, Parasite tak terelakkan terasa seperti kompilasi filmografi Bong Joon Ho. Ala-ala album Best Of lah kira-kiranya.

 

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini.

Les Misérables: Kita Yang Miskin, Kita Yang Merana

les_miserables_ver11
Source: Impawards
So long as there shall exist, by virtue of law and custom, decrees of damnation pronounced by society, artificially creating hells amid the civilization of earth, and adding the element of human fate to divine destiny; so long as the three great problems of the century—the degradation of man through pauperism, the corruption of woman through hunger, the crippling of children through lack of light—are unsolved; so long as social asphyxia is possible in any part of the world;—in other words, and with a still wider significance, so long as ignorance and poverty exist on earth, books of the nature of Les Misérables cannot fail to be of use.
HAUTEVILLE HOUSE, 1862.

 

Bahkan setelah layar kembali hitam, setelah kembali ke rumah, setelah kembali bertemu dengan mall dan kedai-kedai kopi (ke)mahal(an), saya tidak mampu menyingkirkan hantu kepedihan manusia-manusia merana dalam Les Misérables.

Kenikmatan menonton Les Misérables 2012 (ini untuk membedakan dari Les Misérables 1998) tentunya akan lebih paripurna jika pernah menonton pertunjukan musikal dan membaca bukunya. Namun tentunya tidak murah untuk pergi dan melihat pertunjukan ini di West End maupun di Broadway dan juga tidak mudah untuk membaca novel setebal 1200 halaman lebih karya Victor Hugo tersebut. Reading is one thing, comprehending is a whole other thing.

 

Les Miserables
Source: Project Gutenberg

 

Tetapi sebenarnya begitu mudah untuk ‘merasakan’ Les Misérables. Toh ini memang realitas kita sehari-hari. Kita lepas dari mulut harimau, jatuh ke mulut buaya. Seperti nyanyian Gavroche cilik:

There was a time we killed the King;
We tried to change the world too fast.
Now we have got another King;
He is no better than the last.

 
This is the land that fought for liberty
Now when we fight we fight for bread!

Here is the thing about equality
Everyone’s equal when they’re dead.

Ya. Kita memang baru akan setara ketika mati nanti. Walaupun saat ini kita (mungkin) sudah mati. Mati seperti Fantine yang habis dihajar kehidupan.

I had a dream my life would be
So different from this hell I’m living
So different now from what it seemed
Now life has killed the dream I dreamed.

Atau seperti Éponine yang mati menyedihkan setelah menjalani kehidupan yang merana.

Paling tidak mungkin itu yang dirasakan petani-petani di Genikan dalam dokumenter Negeri Di Bawah Kabut (The Land Beneath The Fog) karya Shalahuddin Siregar ketika mereka mentertawakan dengan miris kehidupan mereka. Daripada hidup sulit mending mati saja. Tapi mati juga susah, mau datang dari mana uang untuk penguburannya? Dan hidup adalah lingkaran serta sejarah yang berulang.

Sebagai film, Les Misérables tidak mungkin dilepaskan dari karya adaptasi musikalnya, apalagi dari novelnya sendiri. Maka akan jadi terlalu sederhana menyaksikan Les Misérables sebagai ‘hanya’ sebuah produksi film dengan kehebatan gambarnya dan kekurangmampuan aktor-aktornya bernyanyi dengan ‘layak’, yang dalam hal ini Russell Crowe bahkan mungkin dianggap cacat nada serta adalah ‘kecelakaan’ dalam pemilihan pemain.

Les Misérables adalah kita. Kita yang miskin, kita yang merana, kita yang terhempit, kita yang terjebak dalam lingkaran setan, tapi terlalu takut untuk melawan setan-setan di ‘atas’ sana. Seperti penduduk yang menutup pintu bagi para pemuda –  anak-anak yang dulunya ditimang orang tuanya – saat mereka meminta pertolongan lalu mati dihabisi ‘rekan-rekan sebangsa dan setanah air’ dalam adu senjata antara The Friends of the ABC (Les Amis de l’ABC ) dan National Guard (la Garde Nationale).

Then the gloomy love of life awoke once more in some of them. Many, finding themselves under the muzzles of this forest of guns, did not wish to die. This is a moment when the instinct of self-preservation emits howls, when the beast re-appears in men. They were hemmed in by the lofty, six-story house which formed the background of their redoubt. This house might prove their salvation. The building was barricaded, and walled, as it were, from top to bottom. Before the troops of the line had reached the interior of the redoubt, there was time for a door to open and shut, the space of a flash of lightning was sufficient for that, and the door of that house, suddenly opened a crack and closed again instantly, was life for these despairing men. Behind this house, there were streets, possible flight, space. They set to knocking at that door with the butts of their guns, and with kicks, shouting, calling, entreating, wringing their hands. No one opened. From the little window on the third floor, the head of the dead man gazed down upon them.

Lalu apakah dengan menjadi takut atau diam kita salah? Apakah mereka yang berbuat ‘sesuatu’ lebih benar atau lebih baik daripada mereka yang tidak berbuat ‘sesuatu’? Well, we mostly (probably) did not wish to die. The dead are in the right and the living are not in the wrong. (Volume V – Jean Valjean; Book First; Chapter XX)

Kita adalah Gavroche, anak bangsa yang ditelantarkan ‘orang tua’-nya sendiri. Anak-anak yang terlalu buta, atau mungkin memang tidak pernah tahu ada ‘orang tua’ di luar sana yang benar-benar melindungi dan mengasihi anak-anaknya.

The pavements were less hard to him than his mother’s heart.

This child lived, in this absence of affection, like the pale plants which spring up in cellars. It did not cause him suffering, and he blamed no one. He did not know exactly how a father and mother should be.

Tapi kita kadang ingat, kita masih punya rasa cinta untuk ibu pertiwi.

Nevertheless, abandoned as this child was, it sometimes happened, every two or three months, that he said, “Come, I’ll go and see mamma!”

Naif seperti anak-anak, seperti Gavroche. Seperti anak bayi yang belajar berjalan. Keinginan menggebu-gebu tapi tidak punya sokongan tubuh yang kuat. Kita mungkin memiliki semangat yang berapi-api, tapi tidak punya pengetahuan politik dan wawasan lainnya yang cukup untuk mengimbangi semangat yang (ke)tinggi(an). Ujung-ujung mati konyol (if not patriotic).

Mungkin kita adalah Enjolras, yang keluar dari kenyamanan kelas dan memilih untuk berjuang demi apa yang dianggap benar. Walau mungkin juga ragu untuk apa.

It is time for us all
To decide who we are
Do we fight for the right
To a night at the opera now?
Have you asked of yourselves
What’s the price you might pay?
Is it simply a game
For rich young boys to play?

Dan sebagian dari kita adalah Javert, manusia-manusia robot yang kosong. Dibentuk untuk taat kepada penguasa yang berkuasa. Terlalu taat bahkan hidup tanpa pikir, hidup tanpa jiwa.

Namun seburuk-buruknya penampilan (dan suara) Russell Crowe, memang hanya kosong yang kita temukan di wajahnya, kecuali saat ia dihadapkan pada dilema untuk terus mengabdikan diri mengejar Jean Valjean, ‘penjahat’ kelas teri yang memilih untuk tidak membalaskan penderitaannya pada Javert saat Valjean punya kesempatan atau menghilang saja dari muka bumi ini karena tak sanggup menanggung konsekuensi dari keyakinan butanya yang terkoyak.

The world I have known is lost in shadow.
Is he from heaven or from hell?
And does he know
That granting me my life today
This man has killed me even so?

And many of us are definitely Cosette, pretty Cosette, sheltered Cosette. Oh, sheltered Cosette. Oh and this is why I think Amanda Seyfried is perfect for the role. She just is Cosette.

Dan tentunya ratusan bahkan mungkin ribuan Jean Valjean tersebar di negeri tercinta ini. ‘Anak-anak’ kelaparan yang dihukum ‘orang tua’-nya sendiri karena mencuri untuk mengganjal rasa lapar. Sungguh Les Misérables adalah saat ini. Tempat ini.

Dimana mereka yang berjanji tak pernah lupa untuk mengingkari.

“Can any one understand,” exclaimed Feuilly bitterly, “those men,—[and he cited names, well-known names, even celebrated names, some belonging to the old army]—who had promised to join us, and taken an oath to aid us, and who had pledged their honor to it, and who are our generals, and who abandon us!”

Menikmati Les Misérables dalam bentuk film tentu akan selalu menggiring penonton (yang tahu) untuk membandingkan dengan versi musikalnya. Maka kemudian lahirlah tuntutan bahwa semua pemainnya harus bersuara bagus, minimal mendekati kemampuan pemain musikalnya. Here’s the thing, ‘kecacatan’ kemampuan bernyanyi mereka justru menjadikan film ini lebih nyata dari ‘sekedar’ pertunjukan musikal. Bahkan Tom Hooper sepertinya berusaha untuk lebih mendekatkan film ini ke novelnya daripada berpegang teguh pada pakem pertunjukan musikalnya.

Bukan hanya itu, close up shots para pemain anehnya memberikan perasaan seolah kita berada di dalam sebuah ruangan pertunjukan tapi sekaligus mencapai apa yang ruangan pertunjukan tidak dapat berikan, yaitu kedekatan secara jarak.

Akan sangat mudah bagi penonton untuk jatuh cinta pada permainan Anne Hathaway, dengan adegan menyanyinya yang ‘besar’ dan fenomenal sambil menangis, meratap dan berdarah-darah, tapi mata saya hanya tertuju pada Samantha Barks yang berperan sebagai Éponine. Barks brings subtleties that Hathaway can never deliver, well at least not so far.

Dan tentunya saya juga jatuh hati pada Daniel Huttlestone, si anak jalanan Gavroche. Kebetulan juga Barks dan Huttlestone pernah berperan sebagai Éponine dan Gavroche di versi musikal Londonnya.

 

Eponine Gavroche
Samantha Barks (Éponine) & Daniel Huttlestone (Gavroche). Source: Pinterest

 

Akhirnya, menyaksikan Les Misérables tentunya juga akan menjadi suatu pengalaman yang paripurna jika kita juga menyaksikan Negeri Di Bawah Kabut karya Shalahuddin Siregar dan The Act Of Killing karya Joshua Oppenheimer.

And so my friends, I’ll leave our dying souls with this:

He sleeps. Although his fate was very strange, he lived. He died when he had no longer his angel. The thing came to pass simply, of itself, as the night comes when day is gone

 

Catatan:

  1. This review is subject to change or revision depending on latest interpretation J
  2. Semua kutipan berasal dari lirik lagu serta dari buku Les Misérables karya Victor Hugo versi terjemahan bahasa Inggris di laman ini: http://www.gutenberg.org/files/135/135-h/135-h.htm#linknote-70
  3. Sepertinya terjemahan bahasa Inggris dari Norman Denny lebih puitis. Tapi saya tidak bisa menemukan halaman bebasnya di internet.

 

Selamat meresapi Les Misérables dengan paripurna.