mantengin layar

BuMa the 13th

16 dari 24 jam hari ini kuhabiskan maraton memandangi layar. layar laptop, layar handphone, kembali ke laptop, kembali ke handphone, pindah ke layar TV sejenak (untuk mengintip apakah episode FTV SCTV kali ini menarik), makan, mandi, gegoleran, kembali ke layar laptop bergantian dengan layar handphone sambil mengintip layar TV, lalu kembali ke laptop sambil gegoleran mencari torrent episode terkini reality show(s) kesukaan supaya bisa disedot gan saat kutinggal tidur nanti.

kemarin begini, besok begini, lusa ya mbuh.

bisa stroke lama-lama.

habis… apalagi yang bisa dilakukan seorang pengangguran #kelasmenengahngehek dengan nominal di rekening yang tipis tiris tengkurep nyaris menembus titik keseimbangan angka nol. cuma bisa taktis dan strategis. setengah kubelikan pulsa internet yang puji tuhan alhamdulillah lagi gak ngocol bulan ini supaya aku tetap punya ilusi dunia ini baik-baik saja, semuanya baik-baik saja. setengah lagi kupirit-pirit yang nanti akan kupakai seiprit-seiprit untuk menunaikan ibadah pergaulan anak jakarta. oh, beratnya #bebanpencitraan!

bah!…

View original post 28 more words

belum ada judul

aku selalu khawatir bahwa sebenarnya aku ini tidak layak disebut sebagai penulis. bahwa dengan aku sering berteriak mediocre mungkin justru aku yang seperti itu.

menulis puisi dengan perbendaharaan kata seadanya, tema yang itu lagi itu lagi, bahkan kadang mungkin terdengar seperti ratapan yang tak habis-habis.

aku juga pernah curhat pada ninin. aku ini kok gak pernah bisa ya bikin judul tulisan yang mengena. itu justru jadi tahap paling sulit dari keseluruhan proses menulisku. akhirnya ya paling aku comot kalimat awal puisiku atau kata/kalimat yang paling sering aku ulang-ulang.

tapi hari ini aku berkenalan dengan puisi-puisi Wiji Thukul. iya, memang isi puisinya tentu saja jauh berbeda. yang satu bicara penderitaan garis keras, yang satu lagi bicara penderitaan anak jakarta yang pengen jadi manusia sosialis tapi terjebak dalam tubuh anak (yang katanya) gaul. atau kalau tidak bicara tentang penderitaan patah hatinya yang cupu dan mendayu-dayu.

mungkin karena perlawanannya yang bikin hati dan mataku mewek atau mungkin karena Thukul sangat telanjang bercerita dalam puisi-puisinya atau karena Thukul mungkin tidak menggunakan kata-kata mutakhir dalam puisinya atau karena keadaan yang menyebabkan beberapa puisinya tak berjudul atau karena memang sudah begitu saja, maka aku bisa merasakan kesamaannya (kalau dia masih hidup, semoga dia tidak merasa terhina dengan ucapanku ini).

hari ini sedikit berkurang kekhawatiranku. rasanya pantas jika aku ucapkan: terima kasih Wiji Thukul

ya sudahlah

BuMa the 13th

mungkin tak usah kuselesaikan saja tulisanku. walau kepalaku rasanya berasap mengepul-ngepul seperti mulut yang berbusa-busa mencoba menjelaskan hal-hal kepadamu. lagi pula aku sendiri sepertinya tak mampu merangkai terlalu banyak teori yang kukumpulkan dari buku-buku yang kubaca serta analisis ala kedai kopi dari malam-malam panjang yang tak berkesudahan.

tapi aku ingin kamu mengerti. kadang-kadang. walaupun selebihnya aku lebih ingin membatin, “ya sudahlah, kamu memang tak akan mampu untuk mengerti. apalagi memahami.” tapi aku tetap ingin. kadang-kadang.

View original post