Mogul Mowgli: Gelisah Hibriditas Budaya

Menyaksikan Mogul Mowgli seakan diingatkan pada rasa sakit yang melumpuhkan, hence it feels viscerally painful and personal. For years, I have had and still have two of what are considered the most excruciating illnesses, acute pancreatitis (which led to gallbladder removal) and endometriosis + adenomyosis combo which forced me to be homebound, bedridden, and being dependent on pain killers to get by for months. Just a little background.

Tidak pernah menyaksikan Riz Ahmed sebelumnya kuanggap sebagai sebuah keuntungan karena aku menyaksikan Zed yang utuh, bukan Riz Ahmed sebagai Zed/Zaheer. Ahmed mengaburkan batas antara dirinya dan Zed, bahkan mungkin menguliti dirinya sendiri demi melebur ke dalam Zed. Mungkin juga Mogul Mowgli merupakan semi otobiografi Ahmed secara dia juga terjun langsung sebagai co-writer. Whatever that is, he is electrifying & breathtaking.

Karir Zed (Riz Ahmed), rapper Inggris berdarah Pakistan yang tinggal di New York, kelihatannya menuju lepas landas seiring dengan tawaran menjadi penampil pembuka tur Eropa artis lainnya. Sebelum tur dimulai, Zed menyempatkan diri pulang kampung ke London setelah disindir sehingga cekcok dengan pacarnya, Bina (Aiysha Hart). Di sinilah mimpi buruk Zed dimulai. Tiba-tiba Zed mendapati dirinya menderita kondisi autoimun yang menyerang otot, yang artinya pergerakan fisik Zed menjadi sangat terbatas. Ketakutan mimpinya pupus, ia menyetujui tawaran untuk mengikuti program pengobatan eksperimen dengan resiko kemandulan, sebuah keputusan yang ditentang ayah Zed karena menurutnya apalah arti manusia tanpa keturunan.

Ayah Zed, Bashir (played brilliantly by Alyy Khan), meninggalkan Pakistan dan pindah ke Inggris setelah Pemisahan India tahun 1947. Puluhan tahun berlalu dan Bashir masih menutup mulut setiap topik ini mengemuka. Guneeta Singh Bhalla, pendiri Arsip Partisi 1947 (sebuah organisasi non-profit di Berkeley, California) mengatakan, “Because their experiences weren’t given importance for so many decades, they just learned to feel that what they experienced wasn’t really worth talking about.”

Setiap kali Zed berada dalam kondisi tertekan, ia bermimpi (atau itu mungkin manifestasi kenangan buruk ayahnya) berada dalam gerbong kereta hantu (karena membawa mayat orang-orang yang dibantai saat berusaha melintasi perbatasan India dan negara baru Pakistan) dan menyaksikan kebrutalan pembantaian pengungsi yang terjadi selama migrasi massal tahun 1947 tersebut. Migrasi massal terbesar dalam sejarah manusia. Dalam mimpi dan halusinasinya, Zed juga selalu menjumpai laki-laki dengan muka tertutup rangkaian bunga (mala) menggumamkan nyanyian “Toba Tek Singh” (nama sebuah kota di Punjab yang juga dijadikan judul cerita pendek berlatar belakang pemisahan India oleh Saadat Hasan Manto), namun Zed tidak pernah memahami penuh arti kehadiran sosok tersebut. Mimpi dan halusinasi Zed bagaikan luka masa lalu Bashir yang diwariskan menjadi kegelisahan identitas Zed. Lahir dan besar di Inggris namun selalu dipertanyakan asal-usulnya. Semua diterjemahkan Ahmed dalam lirik “Where You From”. A brilliant and heartbreaking poem.

They ever ask you “Where you from?”
Like, “Where you really from?”
The question seems simple but the answer’s kinda long
I could tell ’em Wembley but I don’t think that’s what they want
But I don’t wanna tell ’em more ’cause anything I say is wrong

Britain’s where I’m born and I love a cup of tea and that
But tea ain’t from Britain, it’s from where my DNA is at
And where my genes are from
That’s where they make my jeans and that
Then send them over to NYC, that’s where they stack the P’s and that

Skinheads meant I never really liked the British flag
And I only got the shits when I went back to Pak
And my ancestors’ Indian but India was not for us
My people built the West, we even gave the skinheads swastikas

Now everybody everywhere want their country back
If you want me back to where I’m from then bruv I need a map
Or if everyone just gets their shit back then that’s bless for us
You only built a piece of this place bruv, the rest was us

Demi dapat kembali berdiri di atas kedua kakinya sendiri, Zed meruntuhkan idealismenya dan mencoba metode penyembuhan apapun yang ditawarkan; mulai dari metode medis (terapi eksperimen yang dapat berakibat kemandulan permanen) hingga tradisional (dari minum air yang didoakan, hingga menyerah untuk di-cupping secara diam-diam oleh keluarganya. Menurut mereka, “toh trennya sekarang semua atlit di-cupping dan semua orang beralih ke kunyit untuk pengobatan alamiah”. Insinuations for the white’s cultural appropriation of healthy and natural lifestyles craze). Menerima diobati secara tradisional seperti sebuah tamparan bagi ‘kemodernan’ Zed. Namun bagaimana mau mempertahankan prinsip dan memiliki otoritas penuh terhadap tubuh sendiri, ketika untuk bergerak pun masih membutuhkan bantuan orang lain? Tangisku meledak saat menyaksikan Zed bangun di rumah sakit dengan ayahnya membaca Al-Qur’an di samping tempat tidur. Juga di lain waktu saat ia bangun mendapati ibunya sedang mengelus kepalanya dan bapaknya sedang sholat di kursi. They are scenes that are too familiar with me. Sebagai anak yang sudah dewasa, sulit rasanya kembali bersandar (secara harfiah) pada orang tua yang notabene tidak lagi kuat.

Alyy Khan & Riz Ahmed

Bersandar pada orang tua juga ‘memaksa’ Zed kembali menghadapi pertentangan nilai dengan orang tua, terutama ayahnya. But at the end of the day, they are still family walaupun mereka acapkali bersitegang. Adalah Bashir yang menenangkan Zed yang frustasi, “Zaheer, sabaar. Insya Allah there’ll be more opportunities” (Lagi-lagi kubanjir air mata. Persis seperti mamakku kalau aku lagi frantic).

Façade Zed yang defensif, bahkan terkadang agresif, menjadi tameng atas kerapuhan Zaheed Anwar. Hibriditas budaya yang melahirkan konflik identitas berlapis Zed, walaupun di satu sisi menjadi inspirasi berkeseniannya, namun di sisi lain selalu membuatnya limbung dan gelisah. All of his insecurities and anxieties speak to me. Seperti misalnya, aku ingat ketegangan dan kegelisahanku di masa muda saat pertama kali menghadapi cupika cupiki, satu tradisi ‘anak gaul’ yang saat itu lumayan jauh dari nilai-nilai yang kupegang, coming from a rather conservative background aka si anak alim. Saat itu aku merasa seperti harus meminggirkan keislamanku demi dapat diterima lingkungan yang lebih ‘keren’? Mungkin sama seperti Zaheer yang memilih panggilan Zed. His cousin thinks he surrendered to the West, while he thinks he made a choice. Padahal sih inlander aja dia. So was I. Thanks to the wave of wokeness and intersectionality, we now realised that our insecurities and anxieties are valid. For a very long time, as people of colonised nations, we were made to believe that our cultural (and religious) values are backward or irrational than of the colonisers that a lot of times it makes us invalidated them.

This movie hits so close to home on so many aspects and dimensions; the cultural and value clashes, lost identity, illness and its effects, parents attending their adult-age child care, and taken away dream. I was so not prepared for the surge of emotions this movie brings. A wonderful feature debut by Bassam Tariq, who also co-wrote it with Riz Ahmed. Beberapa mungkin akan berpikir terlalu banyak yang ingin disampaikan film ini, tapi kalau kita pernah berada dalam persimpangan budaya seperti Zed, semuanya terasa sangat relevan.

Menjelang akhir, setelah gagal mengeluarkan sperma untuk dibekukan, Zed meludah ke dalam tabung, lalu memanggil suster sambil berkata “I’m finished”. Mungkin Zaheer yang lelah dengan semuanya menyerah memiliki keturunan, seperti tergambar dalam lirik rapnya,


“I tried to stand up for my blood but my blood won’t let me stand up
Let there me no more after me at least we’ll be at peace
If there is no seed after me Zaheer would be at peace”

Foto diambil dari https://www.mogulmowgli.co.uk/

Pertama kali diterbitkan di Popteori

Parasite: Nafas Drama Korea dalam Kompilasi Filmografi Bong Joon Ho

Parasite 1

Dulu saya pernah bertanya-tanya, mengapa saya bisa menonton Memories of Murder (2003)  berkali-kali, padahal film tersebut diangkat dari kisah nyata yang artinya tidak banyak ruang tersisa bagi sutradara untuk berimajinasi liar. Setelah menonton Parasite (2 kali!), sepertinya saya menemukan jawabannya.

Membaca filmografinya, Bong Joon Ho hampir selalu menawarkan premis sederhana yang disampaikan dengan narasi linear. Sinematografi dan musik yang dramatis tidak serta-merta menjadikan film-film Bong pretentious. Tapi saya curiga dua elemen tadi justru yang membuat banyak orang seringkali melihat film-film Bong Joon Ho sebagai karya yang avant garde dan gila, apalagi Bong juga suka dengan metafora-metafora kecil. Padahal buat saya kebalikannya. Bong juga suka menyelipkan bercandaan konyol segelap apapun filmnya. Tidak salah jika kemudian ada yang menyandingkan Parasite dengan film-film Warkop DKI yang juga kerap berisi satir sosial.

Menonton drama Korea mungkin bisa memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana kelas merupakan topik bahasan yang sangat lazim, nyaris selazim nasi dan kimchi bagi orang Korea, dalam tayangan yang distereotipkan sebagai tontonan kacangan atau alay. Dari drama harian atau akhir pekan (yang ceritanya kadang luar biasa tidak masuk akal), komedi romantis dengan fairy tale syndrome-nya, kriminal, sosial politik sampai horor; dari ribut-ribut ala orang kaya kompleks vs orang miskin kampung sebelah sampai kesenjangan struktural, kelas hadir baik sebagai subyek maupun latar belakang dalam drama Korea. Bisa jadi ini juga jadi salah satu alasan kenapa Bong bilang film ini mungkin terlalu Korea buat penonton internasional (terlebih bagi mereka yang tidak menonton drama Korea), di luar simbol-simbol lokal lain yang (tentunya sebagai bukan orang Korea) saya juga belum paham benar. Mungkin.

Parasite 3
Keluarga Kim bekerja serabutan sebagai pelipat box pizza di apartemen semi-basement (banjiha/반지하) mereka

Namun tidak seperti drama yang punya keleluasaan episode untuk bereksplorasi membangun narasi, film harus mampu memadatkan argumen-argumennya dalam waktu yang terbatas. Bong melakukan ini dengan menciptakan penanda yang dihadirkan berulang kali untuk membangun intensitas pemicu konflik. Jika dalam Mother (2009) penanda itu adalah ejekan Bodoh kepada Do Joon (Won Bin), dalam Parasite (2019) Bong menggunakan Bau dan Batas.

Mr Park (Lee Sun Kyun), seperti layaknya kelas menengah atas pretensius lainnya, (seakan-akan) memberikan kebebasan dan menghargai pekerja-pekerjanya, selama mereka tidak “melewati batas”. Dalam kata Batas terkandung makna kesetaraan yang munafik. “I’m all for (insert cause/term), as long as…”. Bayangan melintasnya para pekerja rumah tangga ke dalam eksklusivitas teritori sosial imajiner pasangan Park membuat fake woke people ini gerah, segerah kelas menengah Jakarta yang terganggu dengan gegar budaya masyarakat kelas bawah terbelakang yang tidak pernah mencicipi kedisiplinan bermasyarakat ala negara dunia pertama atau kejijikan kaum borjuis mencium toilet Plaza Indonesia yang hilang kewangiannya tergantikan bau busuk hajat rakyat jelata di gegap gempitanya uji coba MRT. Kemunafikan Mr. Park sedikit banyak mengingatkan saya pada Han Jung Yo, kepala keluarga keluarga Han dalam Heard It Through the Grapevine (2015) (still, one of Korean drama’s masterpieces to date), drama Korea yang juga menguliti dan mengolok-olok pretensi basi kaum borjuasi.

Parasite 2
Mr Park (Lee Sun Kyun) & Yeon Kyo (Cho Yeo Jeong)

Jika Batas adalah penanda bagi Mr Park, Bau adalah penanda bagi Kim Ki Taek (Song Kang Ho). Isyarat Bau yang didemonstrasikan berulang kali menggoyahkan kepercayaan diri Ki Taek karena bau mengafirmasikan posisi marjinalnya. A quite Orwellian of Bong. Maka kemudian ledakan kemarahan Ki Taek melihat Mr Park menutup hidung memang seperti bom waktu, seperti Hye Ja (Kim Hye Ja) dalam Mother yang mengamuk mendengar putra kesayangannya dipanggil Bodoh.

But there was another and more serious difficulty. Here you come to the real secret of class distinctions in the West–the real reason why a European of bourgeois upbringing, even when he calls himself a Communist, cannot without a hard effort think of a working man as his equal. It is summed up in four frightful words which people nowadays are chary of uttering, but which were bandied about quite freely in my childhood. The words were: The lower classes smell.

The Road to Wigan Pier, Chapter 8 – George Orwell

Parasite 7
Song Kang Ho sebagai Kim Ki Taek. Lewat Parasite dan The Host, akhirnya saya akhirnya paham kenapa Song Kang Ho jadi kesayangan banyak sutradara di Korea Selatan

Tidak hanya menghadirkan konflik vertikal (yang dalam film-film Bong sering disimbolisasikan secara harfiah dengan ruang-ruang vertikal), tapi Parasite juga menunjukkan bahwa peperangan sesungguhnya justru terjadi di lapisan bawah. Apapun masalahnya, kaum elit (di seluruh dunia) selalu jadi yang lebih dahulu lolos dari jeratan masalah, sedangkan rakyat jelata tetap gontok-gontokan untuk bertahan hidup. Apalagi ketika sudah menyangkut urusan perut.

Parasite 4
Kakak beradik Kim Ki Jung (Park So Dam) & Kim Ki Joo (Choi Woo Shik)

Seperti dalam banyak drama Korea, Parasite juga menolak dikotomi perspektif hitam – putih, walaupun Bong tetap mengambil posisi dalam film ini. Tipu-tipu keluarga Kim ‘menginvasi’ ruang mewah keluarga Park berangkat dari kebutuhan mereka bertahan hidup. Untungnya si empunya rumah bukan ‘monster’. Dalam kepala Ki Taek, ini artinya “Mr Park adalah orang baik walaupun dia kaya”. Choong Sook (Jang Hye Jin), istri Ki Taek, kemudian mengoreksinya dengan “Mr Park bukan kaya tapi baik. Dia bisa baik karena kaya. Gue juga bisa baik kalau kaya”. Pahit memang melihat keluarga Kim harus menjustifikasi usahanya mencari pekerjaan (rendahan pula) karena merasa bersalah sudah menipu dan menjadi Parasit di rumah keluarga Park. Entah Bong mengutip atau terinspirasi, yang jelas kalimat ini adalah kalimat paling menohok & mengesankan dalam drama My Ahjussi (2018) (yang juga dibintangi Lee Sun Kyun).

Parasite kemudian menjadi salah satu karya Bong yang paling saya nikmati justru bukan karena “kebesaran” idenya. Kebrutalan Parasite bisa jadi tidak “segila” film-film Park Chan Wook dan kesedihannya bisa jadi tidak seperih film-film Hirokazu Koreeda (walaupun di kali kedua saya menonton, saya mewek menyaksikan tatapan sedih Pak Ki Taek setiap tuan dan nyonyanya tutup hidung atau melihat kesigapan Kim Ki Woo (Choi Woo Shik) mengambil setiap kesempatan walaupun dia tidak akan pernah living his dreams), namun saya menyukai keluwesan (dan kemauan) Bong menjembatani ranah film komersil dan the so-called film seni, bahkan memasukkan rasa drama dalam kasus Parasite. Kalau diibaratkan makanan, Parasite terasa seperti masakan dengan berbagai macam bumbu yang menyatu halus dengan rasa yang tidak tajam sehingga membuat penyantapnya ingin mencicipi kembali untuk meraba rasa apa yang tercampur dalam makanan tersebut, if that makes any sense. Ini nampaknya jawaban pertanyaan saya di awal tadi.

Menggabungkan banyak elemen dari film-film terdahulunya, ditambah dengan kerapian semua aspek film, mulai dari cerita, alur, hingga akting para pemainnya, Parasite tak terelakkan terasa seperti kompilasi filmografi Bong Joon Ho. Ala-ala album Best Of lah kira-kiranya.

 

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini.

It Might Be Possible That Life Itself is Without Meaning: Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동) (2010)

fullsizephoto146186
Hye Hwa (Yoo Da In)

This is the English and updated version of ‘Re-encounter’ movie review. The original post in Bahasa Indonesia can be read in here:

“It might be possible that the world itself is without meaning.”
(Mrs. Dalloway – Virginia Woolf)

What happens if at the end of the day, our lives turn out to be nothing but a meaningless journey and that is all there is to it? In the age of #selfmade and hyper-positivity, many will probably drown in a sudden depression or find themselves lost in hysterical wailings, longing for the glorious life that was once a #lifegoals, but ends up in… nothing. This is the feeling I just cannot escape from ‘Re-encounter / Hye Hwa, Dong (혜화, 동)’, that maybe, just maybe, life itself is without meaning.

‘Re-encounter‘s’ opening scene shows Hye Hwa (Yoo Da In) riding her motorbike to pick up an unwanted dog. Over the years, she has developed some sort of obsession to save them. She even runs a dog grooming salon for a living, right next to a vet clinic. It could be possibly be part of the clinic too. Besides taking care of the dogs, sometimes (maybe most of the times) Hye Hwa also helps the vet to look after his son who she seems to have a close relationship with. Her relationship with the child and her dog-rescuing actions look like a manifestation of redeeming whether her guilts or her losses or even both, as a result of ‘failing’ to save her own baby who died not long after she was born.

At least that is what’s planted in Hye Hwa’s memory for the past 5 years. Until one day, her ex-lover and the father of her child, Han Soo (Yeo Yeon Sook), who ‘disappeared’ before the baby was born, suddenly reappear in front of her and tells Hye Hwa that their daughter is still alive.

The re-encounter then brings the “what ifs?” The lethal question.

What if Han Soo’s words are true? What if their daughter is in fact is still alive and was not dead like what has been planted in Hye Hwa’s memory for years? Hye Hwa can’t escape herself from the “what ifs” that for a moment she and Han Soo are trapped in a delusion Han Soo created. Like opening a pandora box.

If we only read the synopsis, ‘Re-encounter’ might sound like like an uber-melancholic drama, but it seems director Min Young Geun wasn’t interested to turn it into a tear-jerker movie but instead he chose to explore and depict the hollowing loneliness and nothingness of people’s lives. The adult Hye Hwa is now living alone, accompanied by her saved dogs. She still keeps the cuts of her clipped nails in an old roll film tube. Probably a metaphor of keeping and preserving parts of herself that were once uncontrollably and involuntarily thrown away. Or maybe, just like what my friend Ninin said, Hye Hwa is still keeping her love and holding onto to her past in those polka dot nail cuts. Her aging mother now has to holding on to a string of raffia rope whenever she needs to go to the bathroom. She weakly mumbles the deep-seated anger towards her cheating husband, which left her with no choice but to take the ‘illicit offspring’, Hye Hwa, into her own care. Han Soo, who is now back to living with his family, is now walking with a limp, maybe from a shot wound or military training injury.

Min Young Geun delivers all of these in a very quiet and calm manner to almost showing no sign of exterior emotions. Suppressed emotions. It does make sense, considering the kind of life Hye Hwa’s family leads. For some, they just can’t afford to be be absorbed in prolonged self-indulgent melancholia. There’s life to be lived, there’s hunger to be fed. Perhaps to some others, especially those whose lives are in the middle-upper level of Maslow’s pyramid, life should ideally be filled with dreams that are worth fighting for. Hye Hwa, obviously does not belong to this social strata. Her lives revolved around abandoned and unwanted dogs, like the lives of many others whose days are only filled with routines to make ends meet. Often times too tired to even feel their own feelings, let alone searching for life’s meaning.

fullsizephoto146176
Han Soo (Yoo Yeon Seok)

There’s subtlety and finesse in Yoo Da In‘s delivery of adult Hye Hwa’s suppressed emotions, in contrast with her interpretation of the bolder and spunkier teenage Hye Hwa. This is my first encounter with Yoo Da In, and I fell in love with her instantly. In his best performance I’ve seen by far, Yoo Yeon Seok translated Han Soo into a mama’s boy who could not chase away his broken heart that he had to create a delusion in hope of healing the wounds of not only his but also Hye Hwa’s.

This calmness, loneliness, silence or whatever this almost emotionless feeling, somehow is really haunting. I have watched this movie a few times, and still I can’t grope how exactly this movie makes me feel. Maybe this is why it then led me to feel that eventually that is all there is to it to life. Just a passing time, until the day we all die. Even as I write this, the feeling is still vague. As unclear as Hye Hwa’s look in her eyes as she drove her car backwards towards Han Soo. Vague.

Update: I have watched the movie a few more times after writing the first review. Somehow it now leaves me with a feeling of hollowing sadness. The multilayered feelings that it reveals over time has set ‘Re-encounter’ apart from many Korean movies, mainstream and non-mainstream, which too many have the tendency to overpromise and underdeliver, banal and pretentious. I can’t help but comparing it to Hong Sang Soo‘s works (probably from having a similar feel?) ‘Re-encounter’, to me, even exceeds some of Hong Sang Soo‘s movies, as (I feel) his works begin to plateau. I guess it’s safe to say that ‘Re-encounter’ has now become one of my most favourite movies of all time.

Master: God of Revenge/Noodles (마스터-국수의 신) (2016) VS Memories of Murder (살인의 추억) (2003)

Jadi ceritanya 3 minggu terakhir lagi ngikutin drako “Master: God of Revenge/Noodles”. Dari awal musik latarnya udah mengusik pikiran, ini kayaknya kok pernah denger dimana. Lalu kemarin gara-gara browsing mau cari komposernya siapa malah nyangkut di YouTube soundtrack-nya “Memories of Murder”.

Memories Of Murder

 

Ternyata oh ternyata, bukan cuma musik-nya yang punya rasa & nuansa yang sama. Dramanya pun sepertinya begitu. Master dan Memories punya cerita yang sebenarnya bisa dibilang “biasa” aja, gak “sakit” atau berlapis macam Oldboy, Snowpiercer atau drako Heard It Through The Grapevine. Memories, film drama kriminal, berdasarkan kisah nyata peristiwa pembunuhan berantai di Hwaseong, sedangkan Master, drama pembalasan dendam, berdasarkan komik “Kooksooui Sin”. Ceritanya sendiri jauh berbeda, tapi kedua film dan drako ini punya sinematografi dan musik yang ciamik Sinematografer Memories adalah Kim Hyung Koo, sedangkan Master adalah Kim Jae Hwan & Mun Chang Soo (kalau gak salah baca). Sedangkan untuk musik, Memories mengandalkan komposisi Tarō Iwashiro dan Master didukung oleh Park Seong Jin.

Memories terasa lebih mentah (agak beda rasa ya jadinya kalo diterjemahin ke bahasa Indonesia dalam konteks ini) dan kasar sedangkan Master terasa lebih cantik walaupun gelap (lebih dekat ke rasa-nya “Gangnam Blues”). Tentu aja ini karena Master diproduksi buat konsumsi TV publik.

 

Master God Of Noodles

 

Untuk urusan musik, ini nih pemicu munculnya perbandingan ini, keduanya sama-sama menggunakan musik orkestra sebagai musik latar. Namun harus saya akui, walaupun sama-sama cantik dan menimbulkan perasaan pedih menyayat hati, secara konteks musik di Memories memang lebih tajam membangun emosi, sedangkan di Master rasanya belum sampai sana. Bisa jadi karena ceritanya sendiri memang tidak (atau belum, secara baru mau masuk episode 5 juga) setragis Memories.

 

 

Anyway, ngalor ngidul ini cuma bakal ditutup dengan komposisi Tarō Iwashiro buat Memories ini rasa-nya mirip sama komposisi Philip Glass buat “The Hours” buat saya. Bikin ngilu!

 

Catatan: ngalor ngidul ini ditulis beberapa minggu lalu di note Facebook

Mungkin Sebenarnya Hidup Itu Memang Tak Bermakna: Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동) (2010)

fullsizephoto146186
Hye Hwa (Yoo Da In)

“It might be possible that the world itself is without meaning.”

(Mrs. Dalloway – Virginia Woolf)

Apa jadinya kalau ternyata kehidupan ini pada akhirnya yah begitu saja dan tak ada maknanya? Entahlah. Mungkin banyak orang langsung tenggelam dalam depresi berkepanjangan atau histeris meratapi hidup tanpa kejayaan yang dicita-citakan. “Re-encounter / Hye Hwa, Dong ( 혜화,동), entah mengapa, meninggalkan rasa “mungkin sebenarnya hidup itu memang tak bermakna” tersebut buat saya.

“Re-encounter” dibuka dengan adegan Hye Hwa (Yoo Da In) mengendarai motor untuk menjemput seekor anjing pendatang yang tidak diinginkan oleh pemilik rumah. Hye Hwa (nampaknya) memiliki obsesi untuk menyelamatkan anjing-anjing terlantar atau yang tak diinginkan. Sebagai mata pencaharian, ia memiliki salon anjing kecil yang bersebelahan dengan klinik hewan, atau mungkin juga bagian dari klinik tersebut. Selain mengurus anjing, Hye Hwa juga terkadang (atau mungkin juga sering) mengurus anak si dokter klinik sebelah hingga si anak ingin memanggilnya ibu. Kedekatan Hye Hwa dengan si anak dan aksi-aksi penyelamatannya terasa seperti sebuah manifestasi penebusan entah rasa bersalah atau rasa kehilangan atau bahkan keduanya karena di masa lalu Hye Hwa tidak dapat “menyelamatkan” bayinya sendiri yang meninggal tak lama setelah dilahirkan.

Paling tidak itulah yang tertanam di ingatan Hye Hwa selama 5 tahun. Sampai kemudian mantan kekasih dan ayah dari anaknya, Han Soo (Yeo Yeon Sook), yang “menghilang” sebelum kelahiran bayi mereka, mendadak muncul di hadapannya dan mengatakan bahwa anak mereka ternyata masih hidup.

“What if?”

The deadly question. Bagaimana jika ternyata Han Soo benar? Bagaimana jika ternyata anak mereka masih hidup dan tidak meninggal seperti yang selama ini tertanam di ingatan Hye Hwa? “Bagaimana jika” begitu menghantui Hye Hwa dan Han Soo hingga keduanya sesaat terjebak dalam delusi yang diciptakan Han Soo.

“Re-encounter” sebenarnya berpotensi untuk jadi melodrama super melankolis, tapi sutradara Min Young Keun nampaknya lebih tertarik untuk menghadirkan rasa sepi ketimbang bermain dengan air mata. Hye Hwa dewasa kini tinggal sendiri ditemani anjing-anjingnya. Ia masih memelihara kegemaran mengumpulkan potongan kukunya dalam sebuah tabung film kamera, seperti ingin menyimpan dan mengabadikan bagian dirinya yang dibuang. Atau mungkin seperti interpretasi Ninin, Hye Hwa masih menyimpan cinta dan masa lalunya di kuteks bergambar polkadot. Ibunya yang menua kini harus berpegangan pada bentangan tali rafia jika ingin ke kamar mandi. Han Soo yang kembali ke rumahnya kini berjalan setengah tertatih, mungkin akibat luka tembakan atau cedera saat latihan militer.

Semua disampaikan Min Young Keun dengan tenang, nyaris tanpa emosi eksterior. Suppressed emotions. Ini sangat masuk akal mengingat kondisi kehidupan keluarga Hye Hwa. Untuk sebagian orang, mereka tidak mampu untuk jadi melankolis. Ada hidup yang harus dijalani, ada perut yang harus diisi. Mungkin bagi sebagian orang lainnya, apalagi mereka yang kehidupannya berada di tengah ke atas piramida Maslow, hidup (idealnya) berisi mimpi-mimpi yang patut diperjuangkan untuk diwujudkan. Hye Hwa tidak berada di strata ini. Kesehariannya hanya berkutat pada anjing, sama seperti banyak orang yang kesehariannya hanya berisi rutinitas-rutinitas penyambung hidup. Kadang terlalu lelah bahkan untuk merasakan perasaannya sendiri, apalagi mencari makna.

Perasaan-perasaan yang ditekan oleh Hye Hwa dewasa dihadirkan dengan subtil oleh Yoo Da In (yang baru saya kenal melalui film ini), bertolak belakang dengan Hye Hwa remaja yang berani dan cuek. Yoo Yeon Seok, dalam peran terbaiknya (buat saya), mewujudkan Han Soo ke dalam sesosok anak mama yang tak mampu menghalau patah hati sehingga harus menciptakan delusi untuk menyembuhkan luka, bukan hanya dirinya namun juga luka Hye Hwa.

fullsizephoto146176
Han Soo (Yoo Yeon Seok)

Ketenangan, kesepian, kedataran, keheningan atau apalah perasaan yang nyaris tanpa gejolak ini entah kenapa terasa begitu menghisap. Beberapa kali menyaksikan “Re-encounter”, saya tetap tidak mampu meraba dengan tepat perasaan film ini. Mungkin inilah yang membuat saya merasa pada akhirnya hidup mungkin yah hanya begitu saja. Sekedar waktu yang berlalu, sampai nanti saatnya mati. Bahkan saat menulis ini pun rasanya begitu samar. Sama seperti tatapan Hye Hwa saat memundurkan mobilnya ke arah Han Soo. Samar.

Re-encounter Trailer (2010)