Push Your Limit. See The Bigger Picture

Sedih dan patah hati. Itu yang saya rasakan belakangan ini. Dari mengikuti kasus pemerkosaan, pemisahan gerbong perempuan di kereta api sampai kemarin yang paling baru, meninggalnya pekerja iklan karena lembur 3 hari. Tweet terakhirnya berisi, “30 hours of working and still going strooong.”

Kasusnya mungkin beda-beda, tapi ada benang merah yang saya tarik dari komentar, pendapat serta reaksi orang-orang di media sosial dari tiga kasus tersebut, yaitu korbanlah yang harusnya berhati-hati, bukan sistem dan hukumnya yang dibenahi. Di kasus perkosaan banyak yang berkomentar, “Kenapa mau disuruh datang ke kos? Kenapa baru setelah hamil 7 bulan melapor ke polisi? Kenapa bisa terjadi berkali-kali?” Logika macam apa itu?

Di pemisahan gerbong perempuan banyak yang berpendapat itu sebagai sebuah tindakan perlindungan. Perlindungan terhadap apa? Terhadap nilai-nilai patriarki? Kalau perlindungan terhadap kejahatan seksual maupun kejahatan lainnya, bukan semestinya pelakunya yang dihukum? Kenapa justru melanggengkan diskriminasi dan melebarkan jurang kecurigaan atas nama perlindungan?

Mengubah pola pikir emang gak bisa ditempuh dalam jangka waktu pendek. Butuh waktu yang panjang, amat panjang bahkan, yang belum tentu dapat kita lihat atau rasakan hasilnya saat kita masih hidup. Tapi selalu terjebak dalam kebijakan-kebijakan darurat ya juga bukan solusi dan makin memperparah masa depan karena kita justru mencederai pemikiran, logika dan hati nurani.

Masing-masing kasus memang gak mungkin dibahas secara sempit dan disamaratakan. Perlu penelaahan, penjabaran, pemahaman bahkan penelitian yang lebih luas dan dalam lagi. Itu juga salah satu alasan tulisan saya ini.

Kejadian yang paling baru adalah meninggalnya seorang pekerja iklan karena lembur 3 hari ditambah mengkonsumsi terlalu banyak minuman penambah energi. Gak lama sesudah berita tersebut keluar lalu bermunculanlah di berbagai media sosial postingan menanggapi hal ini. Sebagian besar yang saya baca intinya bilang, “Perusahaan tuh memang serakah. Mereka cuma mau memeras pekerjanya. Makanya kita sebagai orkerja harus “Know Our Limit””. Duh kok kayaknya sederhana amat ya solusinya?

Apa iya semua orang di awal masa bekerjanya udah tau bahwa korporat-korporat besar itu jahatnya amit-amit? Saya rasa hampir semua orang juga belum tentu tahu hal tersebut saat mereka baru mulai masuk dunia pekerjaan. Yang mereka tau mungkin hanya abis sekolah/kuliah lalu kerja, entah untuk alasan eksistensi diri, cari makan atau bahkan hanya sekedar mengikuti standar tahap kehidupan manusia.

Yang bisa bilang “Know Your Limit” saya asumsikan sudah pernah melalui kegilaan tersebut atau cukup nyaman dengan hidupnya saat ini makanya bisa bilang cabut aja kalau rasanya udah gak nyaman. Tapi apakah semua orang punya privilege kenyamanan itu? Kalau nggak suka, cabut aja. Sama seperti saya sering banget dikomentarin, dari pada “marah-marah” melulu, mending pindah aja dari Indonesia. Ampun deh, kelas menengah Indonesia.

Belum lagi di dalam masyarakat selalu ada banyak hubungan kekuasaan, dari yang sehat sampai yang super sakit, seperti kasus perkosaan yang saya singgung sebelumnya. Ini disadari gak sih? Apakah solusinya hanya sesederhana “mawas diri”?

Apa iya ketika sudah tidak nyaman dengan sistem kerja perusahan, hanya dengan mengungkapkan keberatan pada atasan akan membawa perubahan? Kalau iya mungkin budaya sistem kerja, dalam hal ini dunia periklanan, sudah membaik dari kapan tau. Tapi nampaknya gak sesederhana itu. Dalam budaya kerja yang sangat kapitalistik manusia nampaknya hanya dilihat sebagai alat produksi, replaceable. Lo gak suka, silahkan cabut atau gue gantiin. Mengerikan bukan? Dan ini terjadi di banyak sektor pekerjaan lainnya.

Lalu bagaimana mungkin orang-orang yang tercekoki atau mencekoki orang lain dengan jargon-jargon macam “Push Your Boundaries” sekarang bicara “Know Your Limit”? Apalagi kalau ada yang merasa “been there done that”. Justru kalau sudah pernah melalui harusnya sadar bukan bahwa ada sistem lebih besar yang menggerakkan kehidupan kita sehari-hari? Atau selama ini gak pernah sadar? Ini kan menyedihkan.

“Push Your Boundaries” untuk apa? Untuk memenuhi pundi-pundi korporasi yang tamak? Untuk jadi yang “terbaik”? Untuk pencapaian prestasi yang abstrak? Sebuah ilusi yang dibentuk oleh propaganda korporasi kapitalis melalui ayat-ayat motivasinya.

Kita tentu saja tidak pernah seutuhnya independent karena kita selamanya interdependent, apalagi kalau kita hidup dalam sebuah sistem masyarakat dan negara. Bukankah kasus terakhir juga  terjadi dalam institusi yang mengagungkan team work? Lalu apa pertanggungjawaban mereka ketika ada kejadian ini? Saling mengingatkan untuk jaga diri sendiri karena resiko akhirnya ditanggung masing-masing?

Sayangnya, bukan hanya dalam hal kasus ini tapi juga dalam kasus-kasus lainnya, banyak orang cuma mau melihat yang ada di depannya aja. Overworked, salahkan perusahaan yang jahat dan diri yang gak tau batasan. Pelecehan seksual, pisahkan manusia berdasarkan gendernya. Perkosaan, baik-baik jaga diri. Padahal jauh sebelum hal-hal tersebut terjadi sudah ada proses panjang dan kompleks yang mendahului dan menjadi penyebabnya. Bahkan seringkali menciptakan lingkaran setan.

Entahlah. Mungkin banyak orang yang masih berpikir bahwa hal-hal ini terjadi akibat pilihan sendiri, maka berhati-hatilah karena akibatnya juga akan ditanggung sendiri. Terjadi di luar kekuasaan korporasi yang buas, negara yang lalai, hukum yang tiarap, gempuran nilai-nilai “positif” (kerja tim, prestasi, passion, dll dll) yang dimanipulasi perusahaan-perusahan besar dan raksasa untuk menggerakkan alat produksinya demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dll.

Mawas diri ya tentunya penting, tapi mawas diri bukan cuma sekedar “Know Your Limit”, lebih dari itu juga menyadari bahwa kita adalah bagian dari sebuah sistem yang lebih besar. Ada hal-hal yang bisa kita
kendalikan dari dalam diri kita sendiri, tapi lebih banyak lagi hal-hal yang butuh kekuatan besar untuk dapat mencapai sebuah perubahan. Butuh “penyadaran” kolektif.

Banyak hal yang mungkin akan terlalu sulit diubah, bahkan mungkin selamanya kita bisa terjebak dalam lingkaran setan tersebut. Tapi selalu penting untuk memiliki kesadaran akan hal-hal lain di luar diri kita
sendiri dan dunia kecil kita.

*Catatan ini merupakan sedikit rangkuman dari diskusi dengan teman-teman lainnya (Anya, Mike, Ninin, Edo, Iskandar, Eko, Yoshi, Acha, Fanny, Ney). Setengah lebihnya meminjam istilah dan pemikiran mereka*

a room of one’s own and three guineas

a room of one's own

well of course i’m not going to write about this book’s prominence in 20th century’s feminist literature. that had been done by Hermione Lee in the introduction and many other critics and scholars.

as one of Woolf’s fan – who feels that she’s probably more intrigued by her personal life than by her works, or probably she feels that her personal life romanticised her works, which makes Woolf a really interesting subject for her, if not an obsession – i always find that her writings (that i’ve read) feels like floating. even in this essay. i think that’s why it is categorised as novel-essay.

as usual, i always find my self groping every time i begin to read her writing. what is she saying? where is this going? where the hell am i? but quite differently than her last book that i read, The Waves, which i was totally and still am lost until now, i soon get a grip of what this whole thing is about.

i think this is one of the most interesting form of writing i’ve ever read so far. she’s going everywhere, jumping from one form to another, from one point of view to another. repeating words, repeating sentences, repeating terms, just like what i’m doing right now.

one time she wrote from the point of view of “the daughter’s of educated men” and the other time she wrote from “the educated men”‘s point of view. and then she wrote letters that feels like a one-way conversation.

though she constantly changing forms, one thing remains consistent. the feeling of floating. the facts are hard-hitting, but the feeling is floating. though she wrote a thorough observasion involving history, political and economic conditions, cultural, social and even religion influences, i can’t help but feel that somewhat the writing feels more like a story-telling rather than an essay.

the difficulty of course was to follow the flow of this book without having a wide or even just a slight knowledge about England’s history. well, it always feels like choking reading something without having a good knowledge and comprehension about it’s context and background. so i have to confess that i turn to Wikipedia for a brief summary haha.

of course it’s worth to note that Woolf wrote this essay with a-daughter-of-middle-class-educated-man’s perspective. one critic even said that Three Guiness should just be titled: “How to Be Privileged and Yet Feel Extremely Aggrieved”. but of course i also agree with other scholar’s response who said that the critic misread Woolf’s hyperbole.

it’s also always interesting for me to learn that in many cultures, the act of discrimination is always practised and conducted by the upper middle class and the bourgeoisie and less by the lower or working class. this is probably because the lower or working class cannot afford such luxury. their men and women must work to make ends meet among other reasons.

i think i’m going to re-read it in the future when my english vocabulary and grammar are improved. Woolf always have a massive vocabulary that for me her works are the most difficult writings in English that i’ve ever read.

 

 

on black, white, grey and dust that gets in your eyes

Kemarin saya terlibat perdebatan panjang mengenai moralitas dan sistem yang awalnya di mulai dari salah satu postingan teman saya di Path. Ketika saya mencoba memberikan pendapat bahwa mungkin seharusnya kita tidak seenaknya menghakimi moral orang yang (terpaksa) meninggalkan anaknya di jalanan, komentar saya langsung dimentahkan teman(-teman) si empunya Path, bahwa apa pun alasannya, “membuang” bayi adalah salah dan atas alasan apa pun seharusnya tidak pernah boleh dibenarkan.

Perdebatan berlangsung cukup panjang dan alot yang bahkan sampai di ujungnya saya rasa tidak ada satu orang pun yang mau melihat poin2 yang saya coba sampaikan. Hampir semua sibuk berkutat menjadi polisi moral.

Pada akhirnya, saya tidak tahan untuk tidak membagi perdebatan semalam di ruang yang lebih luas. Berikut adalah perdebatan lanjutan yang terjadi di Path saya. Sebagai keterangan pelengkap, saya menampilkan pendapat saya atas apa yang terjadi di Path teman saya (bisa dilihat dari foto 1). Gambar-gambar selanjutnya adalah argumen saya, Anya & Nathanael untuk menjawab pertanyaan atau argumen dari Andersen (Andre), pemilik Path dimana awal perdebatan ini berlangsung.

Untuk melihat awal pembicaraan ini dengan jelas tentunya juga harus melihat percakapan awal yang terjadi di Path tetangga tersebut. Namun tentunya hanya dapat saya cantumkan jika si empunya Path berkenan.

1
Screen capture dari perdebatan awal yang terjadi di Path tetangga. Tentu hanya cuplikan dari keseluruhan thread postingan tersebut
2
Masih sambungan dari pembicaraan sebelumnya.
3
Awal postingan di Path saya. Kenapa saya banyak pakai kata militan? Ya balik lagi harus liat argumen di Path tetangga tersebut

Sebagian komentar saya rasa gak perlu ditampilkan di sini karena gak relevan dengan masalah yang sedang dibicarakan.

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Thoughts?